Lokasi Pengunjung Blog

Wednesday, March 30, 2011

SI HITAM BERSUARA MERDU

Di balik suara merdu klarinet dan oboe ternyata tersimpan hampir seabad jeritan pohon grenadilla yang terpanggang di teriknya benua Afrika. Pohon yang dikenal dengan nama kayu hitam afrika itu kini terancam punah....
---------------------------------------------------------

Enak betul, malam Minggu nonton acara orkestra, di TV, gratis. Serombongan pemusik terlihat beramai-ramai memainkan beragam peralatan musik. Ada yang ditiup, dipukul, dipetik atau digesek. Mereka semua serius menyimak partitur sambil sesekali matanya melirik sang konduktor yang bersemangat memberi aba-aba. Kedua tangan konduktor mengepak-ngepak seakan ingin terbang bersama nada yang berhamburan keluar dari instrumen musik yang dimainkan anggotanya.

Di close-up, tampak seorang pemain sedang meniup klarinet, bergantian dengan peniup oboe di sebelahnya. Kedua alat musik itu lurus seperti tongkat komando, warnanya hitam dengan pernak-pernik metal di sana-sini, berkesan eksotis. Suaranya merdu bak buluh perindu.

Semula saya mengira, batang hitam itu adalah kayu eboni atau sonokeling seperti yang kita kenal dan ada di negeri kita. Cirinya mirip, berwarna gelap, bertekstur halus dan berserat lurus seperti rambut direbonding. Sayang seribu sayang, kayu hitam itu ternyata bukan dari Indonesia melainkan dari Afrika, Dalam industri musik, kayu hitam afrika itu populer dengan sebutan grenadilla.

Grenadilla memang bukan kayu sembarangan. Tingkat kekerasan, keuletan, kepadatan, serta kestabilannya sangat tinggi, melebihi kayu hitam kandidat lain. Teksturnya halus, seratnya lurus, dan sifat akustiknya bagus. Tampilannya juga oke, hitam manis.

Sudah layak dan sepantasnya kalau grenadilla kemudian terpilih sebagai bahan utama untuk membuat alat musik yang ekstra sensitif seperti klarinet dan oboe. Grenadilla sang kayu pilihan itu patut dipilih karena memiliki karakter yang serba prima. Klarinet dan oboe kualitas terbaiklah yang kemudian dapat dihasilkan olehnya.

SOSOK GRENADILLA.

Jangan kita membayangkan pohon yang besar, tinggi menjulang di belantara hutan dengan seribu monyet berkejaran di dahan serta rantingnya. Sosok pohon grenadilla itu kurus dan kecil. Umur 70 tahun, tingginya paling banter cuma 9 meter dengan diameter seukuran pinggang. Hidupnya di padang kerontang Afrika, cari makan saja susah, membuatnya tumbuh sangat lambat. Batangnya menggeliat, seakan sering menahan lapar. Daunnya kecil, kadang rontok.

Tampilan luarnya sama sekali tidak menarik. Bahkan monyetpun memandangnya hanya dengan sebelah mata. Mereka tidak tahu bahwa di balik sosok yang kurang flamboyan itu terdapat kekuatan sekaligus kelembutan yang luar biasa.

Monyet tidak berminat, tapi oranglah yang tergila-gila. Saking gilanya, orang nekat foya-foya tebang sana tebang sini. Asyik menebangi, hingga lupa melestarikan. Akibatnya pohon nyaris habis, kini tersisa hanya cukup untuk dua dasawarsa. Sungguh disayangkan, pohon sekeras baja yang telah membuat rayap pun ngacir khawatir ngilu itu, kini terancam punah.

Kulit pohon grenadilla berwarna coklat susu seperti kulit boneka barbie, sementara kayunya berwarna hitam pekat mirip dakocan. Oleh kalangan ahli botani pohon itu diberi nama Dalbergia Melanoxylon. Melanos artinya hitam. Bukan lantaran terik matahari Afrika yang membuatnya berwarna gosong seperti itu, tapi karena adanya unsur hitam yang dikandungnya. Persisnya unsur apa, sengaja tidak dipaparkan di sini karena ini menyangkut "ilmu hitam", takutnya malah bikin runyam. Harap maklum.

Grenadilla tumbuh di benua Afrika, dari Ethiopia sampai Angola, dari Senegal di sebelah barat hingga Tanzania di bagian timur. Paling banyak terdapat di Mozambique dan Tanzania. Grenadilla adalah sebutannya dalam bahasa daerah Mozambique. Daerah lain menamainya Mpingo. Nama aliasnya masih berderet panjang, kalau ditulis semua akan menjadi seperti litani. Puluhan gelar padahal yang dimaksudkan ya itu-itu juga.

Jenis pohon yang satu ini tumbuh pelan. Seusia kita pensiun, pohon itu masih tergolong balita. Kita mulai tremor dan pikun, grenadilla baru beranjak remaja. Kita menua dan lalu almarhum, pohon itu baru bisa disebut dewasa, siap dipanen. Bahasa kasarnya, bila kita menanam, anak cucu kita yang akan memanen.

Kayu terbaik, kelas wahid, disiapkan sebagai bahan untuk membuat alat musik klarinet dan oboe. Kelas dua dibuat mebel, patung dan sebagainya. Sisanya oleh penduduk setempat dipungut dan dibikin menjadi arang atau kayu bakar.

Sebagian besar musisi papan atas merasa bahwa klarinet dan oboe yang dibuat dari kayu grenadilla memiliki suara yang lebih indah dibanding bahan lain. Demikian juga soal keawetan, keindahan serta kekuatannya. Grenadilla memang belum ada tandingan, dari dulu hingga sekarang.

Faktor awet dan kuat ini memang vital. Bayangkan seandainya klarinet dibuat dari kayu kelapa. Belum lama dimainkan mungkin sudah keropos. Atau seandainya oboe terbuat dari batang tebu. Boro-boro ditiup, karena manis dan empuk, mungkin malah cuma diisep-isep. Sekali pakai bakal tinggal sepahnya saja. Habis manis, sepahpun dibuang.

Dari Afrika, kayu itu diangkut ke Eropa, ke pabrik pembuat alat musik tiup yang banyak terdapat di Perancis dan sekitarnya. Hal ini sudah berlangsung sejak lama. Hanya kayu yang benar-benar berkualitas yang terpakai. Saking pilih-pilih, dari satu pohon paling pol cuma bisa diperoleh 10% nya saja. Dari jumlah yang sedikit itu, seperlima bagiannya lagi akan rusak di dalam proses produksi.

Tergambar betapa sedikit dan langkanya bahan itu. Tak heran kalau grenadilla kemudian menjadi salah satu kayu mahal di dunia. Per meter kubik berharga ratusan juta rupiah. Bandingkan dengan kayu kamper yang biasa kita beli di toko material. Beda jauh! Sebuah kursi malas ditambah sebatang tongkat dari kayu hitam afrika mungkin setara dengan nilai sebuah sepeda motor Harley Davidson bikinan Amerika.

PERLU 15 BULAN.

Tak cuma bagi manusia. Grenadilla juga berguna bagi komunitas savana Afrika. Akarnya memiliki benjolan yang mampu mengikat nitrogen sehingga menyuburkan tanah. Daunnya merupakan gantungan hidup satwa herbivora, misalnya jerapah. Kulit kayunya digunakan untuk menyetop diare. Singa juga suka memanfaatkan kayu itu untuk menggaruk punggungnya yang gatal. Akarnya dibakar dan asapnya dihirup, katanya bisa mengusir tidak hanya nyamuk tapi juga mengobati sakit kepala dan flu. Masih banyak pengobatan tradisional di wilayah Afrika yang menggunakan kayu hitam ini sebagai bahan dasarnya. Tak heran grenadilla lalu dielu-elukan sebagai Pohon Nasional Tanzania.

Sayangnya, ketersediaan pohon yang memiliki nilai strategis ini mulai menipis. Kaderisasi seharusnya dilakukan segera. Namun literatur yang berisi penelitian soal tanaman ini masih sedikit. "Hal itu menyulitkan kami untuk merancang strategi praktis konservasi," kata Steve Ball, co leader tim yang melakukan ekspedisi Tanzanian Mpingo 98, satu dari tiga ekspedisi yang dilakukan untuk merancang sistem konservasi grenadilla.

Dunia baru memperhatikan kesedihan grenadilla ketika tanaman ini difilm dokumenterkan oleh BBC, dengan tajuk Pohon Musik pada tahun 1992. Film itu ditayangkan di AS dalam acara Nature. Tahun 1996 pun didirikanlah Proyek Konservasi Kayu Hitam Afrika oleh James Harris, tukang bubut dari Texas, AS, dan Sebastian Chuwa, ahli botani dari Moshi, Tanzania bagian utara.

Mimpi awal proyek ini adalah menanam grenadilla dalam area seluas 1 acre (sekitar 4.000 m2) yang disumbangkan oleh sebuah desa di Moshi. Sejak 1986 Chuwa sudah berupaya menyelamatkan grenadilla tanpa sumbangan dana dari luar. Bersama Harris ia menemukan fakta bahwa perlu waktu 15 bulan bagi semaian grenadilla untuk bisa ditanam di alam bebas. Saat itu ia sudah tahan terhadap panas Matahari dan serangan serangga yang bisa mengancam kelangsungan hidupnya.

Jika bisa bertahan, butuh 70 – 100 tahun lagi bagi grenadilla untuk bisa diolah menjadi alat musik yang bersuara merdu. Jika gagal, klarinet dan oboe yang menemani malam Minggu kita bakalan bersuara memelas dan sumbang deh…

IMITASI

Klarinet dan oboe yang terkenal di antaranya bermerek Buffet Crampon, Henri Selmer dan Marigaux. Pabrik-pabrik itu spesial membuat produk berkelas berbahan grenadilla. Segmennya bukan pemain amatiran, tapi para profesional yang memang membutuhkan produk berkualitas, agar dapat tampil prima.

Produsen lain ada yang selain bikin yang asli juga memproduksi klarinet dan oboe berbahan imitasi, dari remah-remah grenadilla dicampur resin atau dari bahan ebonite (bahan plastik yang dihitamkan sehingga menyerupai eboni).

Tentu saja yang imitasi ini harganya jauh lebih murah diperuntukkan bagi pelajar atau para pemula. Tarip pelajar diberlakukan agar dapat dijangkau oleh semua calon pelajar dan penggemarnya, supaya mereka jangan cuma ngiler.

KAYU HITAM LOKAL.

Kayu hitam dalam negeri seperti sonokeling (Dalbergia Latifolia) yang banyak terdapat di Jawa maupun eboni (Diospyros Celebica) di Sulawesi, nasibnya tidak seberuntung grenadilla (Dalbergia Melanoxylon) yang berhasil terpilih sebagai bahan utama pembuat bodi klarinet serta oboe kualitas nomer satu. Apa mau dikata.

Meskipun tampilan luar nyaris sama, tapi ternyata kualitaslah yang menentukan. Kayu-kayu hitam tersebut satu sama lain berbeda tingkat kepadatan, berat serta kekuatannya. Itu semua tercermin lewat angka specific gravity nya. Grenadilla memiliki angka tertinggi yaitu 1,12. Eboni 1,0 sonokeling 0,85 dan sebagai pembanding, kayu jati 0,59. Angka 1 ke atas termasuk kategori kayu sangat kuat dan keras. Di bawah angka itu berarti sedang-sedang saja.

Menyadari kalau kalah bersaing dengan si hitam dari Afrika, sonokeling dan eboni Indonesia memilih diam membisu. Tidak jadi klarinet alias tidak bersuara, tidak apa-apa. Ora pateken. Toh masih bisa jadi produk lain.

Gitu deh…

Oleh: Yo. Anton Prihardianto

KISAH SERULING YANG DIGEMARI WANITA

Suaranya jernih menghanyutkan. Membawa kita ke suasana dan tempat yang damai dan tenang. Hmmm…uenak tenaaan. Seruling, suling atau flute memang selalu enak. Enak didengar, enak dimainkan. Apa yang membuatnya jadi begitu istimewa?
---------------------------------------------------------

Suara tiupan seruling atau flute bak buluh perindu. Mengalun merdu ketika mengiringi Sundari Sukoco menyanyi lagu keroncong. Sundari memang oke, tapi musik keroncong tanpa suara flute…, no way. Bukan hanya keroncong. Ia juga eksis dalam musik klasik, pop maupun jazz. Berkat alunan suaranya, musik-musik itu melahirkan nuansa romantis, lembut, hangat, berbunga-bunga. Indah.

Bodinya yang lurus dan langsing memberinya kesan feminin. Bukan macho seperti sosok saxophone, alat tiup kerabat dekatnya, yang bertubuh lebih besar bahkan dengan corong yang mengacung. Gerak bibir sang peniup menambah kesan feminin. Formasi bibir peniup flute terlihat seperti bibir sedang tersenyum. Apalagi tidak ada sesuatupun yang perlu di emut dan mengganjal mulut seperti ketika meniup saxophone. Posisi senyum senantiasa itulah yang membuatnya nampak manis.

Apakah gara-gara itu flute lantas banyak diminati wanita? Entahlah. Yang pasti nama-nama pemain flute yang bergender wanita bertebaran di seantero dunia. Diantara mereka ada: Lisa Beznosiuk, Sharon Bezaly, Stefanie Bieber, Helen Bledsoe, Patrice Bocquillon, Andrea Brachfeld, Barbara Brown, Jane Bunnett, Brigitte Buxtorf, Maria Canales, Lucy Cartledge, Kathleen Chastain, dan Ann Cherry. Namun tak sedikit pula pria yang senang meniupnya. Pria peniup flute berkelas dunia itu misalnya Andreas Adorjan, Robert Aitken, David Amram, Yossi Arnheim, Peter Bacchus, Edward Beckett, dan Sebastian Be.

Flute memang telah mendunia dengan nama dan bentuk yang berbeda. Di Jawa dikenal sebagai suling. Di daerah lain disebut foi, sarunai, saluang, taratoit dan banyak lagi sebutan lainnya. Di China disebut Dizi, di Vietnam Ding Tac Ta, di Venezuela Muhusenoi.
Piranti sumber bunyinya ada yang berupa lubang, ada pula yang serupa sempritan. Ada yang ditiup dalam posisi vertikal, diagonal. ataupun horizontal, sejajar kumis kita. Bahkan ada yang ditiup menggunakan hidung seperti alat musik selingut dari Serawak, Malaysia. Bahannya juga macam-macam. Ada yang dibuat dari tulang, tanduk, kayu atau bambu. Material kayu seperti grenadilla, ebony, ataupun rosewood, sering digunakan di masa lalu. Dari sinilah alat musik tiup itu memperoleh posisi dalam kelompoknya sebagai alat musik tiup kayu atau woodwind, satu grup dengan saxophone, clarinet, oboe dan fagot.

Seiring jaman sulingpun berkembang. Berkembang pesat terutama di negara Eropa, seperti Jerman, Perancis, Inggris dan sekitarnya. Baik model, bahan, jumlah lubang maupun diameternya, sistim penjarian dan lain-lain kini telah menjadi sempurna. Bahan kayu telah diganti metal. Gonta-ganti nada bukan lagi hambatan. Tampangnya kini sungguh keren.

Suling moderen tersebut biasa kita sebut Flute, mengadopsi kata Flare dari bahasa Yunani atau to flow dalam bahasa Inggris, Sosoknya terbagi dalam 3 bagian yaitu kepala, badan dan kaki. Keadaan fisiknya tidak layu dan lemas tapi lurus dan kaku mirip pipa pralon. Panjang sekitar 67 cm. Diameternya tidak sebesar mulut kita, tapi cuma selingkaran uang logam recehan, kira-kira 2 cm. Bobotnya ringan antara 400 sampai 600 gram. Dibuat dari bahan metal, kuningan, perak, tembaga, emas, platina atau campurannya. Puncak kepalanya buntu, tersumbat, sementara ujung lainnya bolong plong.

Di sisi kepala terdapat satu lubang, yaitu lubang tiupan. Bentuknya tidak bulat tapi sedikit oval. Di bagian badan serta kaki penuh lubang pengatur nada serta pernak-pernik lain seperti pilar, tombol, per, roller, klep dsb. Aneka komponen itu melekat di sana lantaran dipatri dan disekrup atau bisa juga sekedar nyelip.

Selain flute consert yang berukuran normal, terdapat pula flute ukuran mini yang disebut piccolo. Flute bongsor bernada rendah juga ada, disebut flute alto atau flute bas. Saking panjangnya, bagian lehernya perlu ditekuk supaya tidak klowor-klowor kepanjangan.

SULING BAMBU MASIH MERDU

Siapa sangka benda serupa suling yang biasa dipakai mengiringi penyanyi dangdut berjoget itu ternyata sudah ada sejak jaman dulu. Seserpih suling terbuat dari tulang Mammoth ataupun Beruang telah ditemukan oleh para arkeolog di berbagai daerah seperti Slovenia dan Jerman. Ditaksir usianya mencapai puluhan ribu hingga ratusan ribu tahun. Ternyata masyarakat purba, manusia purba Neanderthal, sudah mengenal dan menyukainya.

Sebelum sampai pada tampilannya seperti sekarang, flute telah melalui berbagai tahap perubahan. Diawali oleh Jacques Hotteterre (1680-1761) yang berhasil menambahkan satu lubang sebagai nada d#. Dengan itu, lubang nada yang semula cuma 6 kini bertambah satu menjadi 7. Dia juga menulis buku pada tahun 1707, berjudul 'Les Principles de la Flute Traversiere'.

Di era berikutnya para kreator melanjutkan upaya penambahan satu demi satu lubang kunci nada baru. Tambah 1, 4, 5, hingga 9 lubang atau lebih. Namun menggali lubang tanpa diikuti oleh perbaikan mekanisme pengaturannya hasilnya malah bikin pusing, malah bikin alat jadi sulit ditangani. Kerepotan seperti itu berlangsung cukup lama, hingga muncul kemudian seorang tokoh pembaharu kelahiran Munich bernama Theobald Boehm (1794-1881). Boehm membuat perubahan radikal. Ukuran lubang-lubang dibuatnya lebih besar, posisinya diatur kembali dan mekanisme tombol diperbaiki. Benda yang merepotkan itu disulapnya menjadi alat musik yang mengenakkan.

Tahun 1832 Boehm menyempurnakan tehnik pengaturan jari untuk mengatur nada dikenal dengan istilah Boehm System. Dan pada tahun 1847 dilansirnya satu disain flute, bukan dari kayu tapi dari perak dengan 15 lubang nada serta 23 tombol pengatur. Flute metal itu disempurnakan lagi pada tahun 1878. Batang yang semula kerucut diubahnya menjadi silindris (silinder sama rata).

Flute metal silindris yang dikembangkannya segera menjadi acuan bagi hampir semua model flute di masa itu dan di kemudian hari. Tidak hanya itu saja, sistim Boehm telah diadopsi pula oleh alat musik tiup lain seperti clarinet, oboe serta saxophone. Dengan mekanisme Boehm maka clarinet besar, oboe besar serta saxophone besar dapat diproduksi.

Orang tidak lagi terikat pada keberadaan lubang nada yang hanya sekecil ujung jari, tapi sudah bebas membuat lubang yang sebesar-besarnya. Lubang-lubang nada yang besar itu kemudian ditutup dengan klep dan katup. Katup kemudian dihubungkan dengan gagang sehingga dapat dikendalikan dari jarak jauh.

Hak paten untuk flute metal tersebut didaftarkan pada tahun 1847 di Perancis dan Inggris. Perusahaan Godfroy & Lor di Paris serta Rudall & Rose di London memperoleh lisensi.
Di Amerika flute Boehm tidak dipatenkan. Pada tahun 1880 William S. Haynes membangun pabrik dan mulai memproduksi flute, mencontoh flute metal buatan Boehm. Banyak pengusaha lain yang kemudian meniru langkah tersebut, ikut mendirikan industri di Boston, dan Elkhart.

Dengan hadirnya flute metal buah cipta Boehm tidak berarti suling sederhana, seperti suling kayu ataupun bambu lalu ditinggalkan. Musik tradisional Irlandia masih menggunakan suling kayu. Begitu juga di Asia. Di Indonesia, kita masih dapat menikmatinya di berbagai kesenian musik daerah. Suling-suling tradisional itu, meskipun terbuat dari bambu bukan berarti suaranya tidak merdu. Suling bambu itu tetap bersuara merdu dan mendayu.

Dibanding yang moderen, suling bambu memang memiliki banyak kekurangan. Keawetan material bambu sangat diragukan. Akurasi nada susah didapatkan, artinya not bisa melenceng kesana-kemari. Jari terpaksa harus dimanipulasi supaya diperoleh nada yang tepat. Jumlah lubang nada sangat terbatas, kurang luwes menghadapi pergeseran dasar nada. Nada dasar berganti, sulingpun harus diganti. Sehingga kita tidak heran lagi ketika melihat seorang pemain suling ndangdut sibuk memilih suling dari dalam tas kreseknya.

Kelemahan suling bambu dapat kita maklumi, karena kebanyakan mereka dibuat hanya dengan ilmu kira-kira, bukan matematika. Begitupun kita sudah bisa bersenang-senang dengannya, memainkan atau sekedar mendengarkan, bergaya dan berjoget persis seperti Neanderthal tempo dulu.

YUK, NYULING

Meniup botol, meniup suling atau meniup flute caranya kira-kira sama. Bibir kita posisikan menempel di pinggir lubang tiupan. Formasi bibir kita bentuk, bukan seperti orang sedang manyun tapi layaknya kita tersenyum. Dari celah bibir yang kini telah merapat ketat itu, udara kita tiupkan tepat kedalam lubang. Begitu teorinya. Kita bisa praktek dengan mencoba meniup mulut botol kosong, sampai tol kosong itu berbunyi nyaring.

Mula-mula tentu ngos-ngosan dan kepala terasa pening. Itu lantaran kekurangan oxygen. Nyebul penuh semangat boleh saja, tapi jangan lupa untuk bernapas. Dalam urusan tiup meniup ini pengaturan napas menjadi hal yang penting. Kontrol pernapasan yang baik nantinya akan menghasilkan kualitas tiupan yang baik pula. Terus terang ini memang tidak gampang. Coba lagi tiup botol itu. Lakukan dengan lebih santai, lakukan seperti ketika kita sedang hepi, bersiul sembari mandi pagi. Sukses meniup botol, kita bisa melanjutkan dengan meniup suling beneran. Tiup dan buka tutup lubang ataupun tombol2 pengatur nadanya. Bisa deh…

Meskipun suling sederhana telah berubah jadi flute moderen, bambu dan kayu telah berganti metal, namun tehnik membunyikannya masih tetap sama. Jejak purbakala ternyata tidak dapat dihapus dan tetap melekat erat pada suling itu dari masa ke masa. Semua benda itu baik yang purba maupun yang kontemporer harus ditiup pas di lubangnya agar bersuara. Harus pas di lubang sasaran, tidak boleh meleset.

Gitu aja…

Oleh: Yo. Anton Prihardianto

Main Trumpet Asyik-asyik Aja

Meski suaranya apik, merdu dan mendayu, meniup trumpet sepertinya perlu ngotot, perlu ngeden, membuat kita ciut nyali, enggan untuk mencoba, khawatir turun berok. Padahal kalau kita tahu siapa dia dan paham cara meniupnya, bermain trumpet ternyata mengasyikkan....
--------------------------------------------------------

Di lapangan, seorang mayoret terlihat tengah beraksi memimpin barisan marching band. Bodinya yang sintal semampai bak peragawati berbalut kostum mini berhias rumbai-rumbai mampu menarik perhatian penonton. Terutama kaum cowok jomblo. Tongkat komandonya sesekali dilempar tinggi ke udara dan hap! …,lalu ditangkap.

Barisannya terdiri dari beberapa kelompok diantaranya peniup trumpet. Trumpet-trumpet yang dimainkan itu nampak serba mengkilat mengesankan kilau logam. Berkilau, karena memang mereka terbuat dari logam, dari bahan kuningan dilapis krom, perak atau warna emas. Karena logam kuningan itulah maka alat musik tiup trumpet memperoleh julukan sebagai alat musik tiup logam alias brasswind. Julukan ini berlaku untuk seluruh keluarga trumpet seperti Cornet, Corno, French Horn, Trombone, Tuba dsb.

Ukuran brasswind itu berbeda-beda, ada yang seukuran botol bir dan ada pula yang sebesar ular Anaconda, mewakili aneka wilayah nada, sopran, alto, tenor atau bas. Agar ringkas, mereka ditekuk-tekuk dan digelung. Model tekukan dan gelungan bervariasi, ada yang ditekuk mirip peniti, ada juga yang dimodel spiral persis obat nyamuk bakar.

Bunyinya…, keras! Satu trumpet mampu berteriak sekuat tenaga 6 watt sehingga pantas kalau trumpet kemudian dipilih untuk mengisi formasi musik lapangan seperti marching band itu. Satu saja sudah vokal, apalagi kalau krubutan. Rame dah!

Tidak hanya jago di lapangan, mereka ternyata juga jago main di kamar, di pagelaran musik kamar. Kita dapat menyaksikan aksinya, dapat mendengar suaranya yang kadang menyalak, disela bunyi alat musik gesek, alat petik, perkusi dan lain-lain.

Bukan itu saja, brasswind biasa pula hadir di aneka tempat, di panggung hiburan musik tanjidor, di panggung musik jazz, tampil mengiringi musik dansa, mengiringi kirab prajurit kraton, mengiringi upacara pengibaran bendera, upacara pelepasan jenasah, mengiringi pertunjukan sirkus, memusiki film kartun semacam Tom & Jerry dsb.

Di jalur musik jazz, nama beken seperti Louis Armstrong atau Mile Davis sudah tidak asing lagi bagi telinga kita. Mereka adalah para kampiun, para peniup trumpet kaliber dunia.

MENARIK DAN MENGESANKAN

Kita pasti penasaran melihat alat pengatur nada trumpet yang hanya berupa 3 buah piston. Meskipun berpiranti sederhana namun trumpet mampu menjelajah semua nada, lengkap hingga ke nada-nada kromatik.

Sistim piston yang dikembangkan untuk pertama kalinya di Jerman oleh Heinrich Stolzel pada 1814 dulunya berupa tabung atau selongsong mirip spet suntikan. Di dalam tabung terdapat piston beserta kelengkapannya seperti gagang piston dan per. Adanya per membuat piston dapat ditekan dan kembali membal.

Beberapa lubang seperti liang terdapat di bodi piston. Liang-liang ini berfungsi menyalurkan udara ke jalur nada yang dituju. Perubahan posisi piston, naik atau turun akan membuka atau menutup lubang saluran dan mengubah arah aliran serta jarak tempuh udara di dalam tabung. Makin panjang jarak, nada makin merendah.

Penemuan piston ini sangat penting. Dengan piston kita tidak perlu lagi repot-repot menggonti-ganti sulur bodi, menambah atau mengurangi panjangnya guna mendapatkan suara yang pas. Cukup dengan mencet-mencet tombol piston saja dan…, semuapun beres. Piston sebagai pengatur nada ini dapat diaplikasikan ke semua jenis alat musik brasswind, baik yang berukuran kecil, sedang maupun besar. Pengembangan sistim piston dilakukan kemudian oleh Perinet dari Berlin pada 1838.

CARA NADA DIHASILKAN

Cara kerja piston cukup simple. Posisi piston tanpa ditekan disebut posisi open. Kode angka 1 merujuk pada aksi menekan piston pertama, menggunakan jari telujuk tangan kanan, disebut posisi 1. Angka 2 adalah piston ke dua, ditekan dengan jari tengah, disebut posisi 2. Angka 3 untuk piston ke tiga ditekan dengan jari manis disebut posisi 3. Nomor urut piston dihitung mulai dari piston pertama yang berada paling dekat mouthpiece, piston kedua berada ditengah dan piston ke tiga berada dekat ke corong.

Posisi open, tanpa menekan, akan menghasilkan nada-nada harmoni C /G/c/e/g/bes dan c. atau DO – SOL – do – mi – sol – li – do. (Nada oktaf dicapai dengan bantuan formasi bibir atau embouchure yang mengetat ketika meniup mouthpiece).

Posisi 2, yaitu aksi menekan piston ke 2 akan membawa nada-nada open turun ½ step, nada. C turun menjadi B atau Do menjadi Si. Nada G turun setengah menjadi Fis atau Sol menjadi Fi dan seterusnya.
Posisi 1, yaitu menekan piston ke 1 akan membuat nada open turun sebanyak 1 step. Nada C turun menjadi Bes atau Do menjadi Li. Nada G turun satu menjadi F atau Sol menjadi Fa dst.

Posisi 1 dan 2 bersamaan, yaitu dengan menekan piston ke 1 dan ke 2 secara bersamaan akan menurunkan nada open sebanyak 1 ½ step. Nada C menjadi A atau Do menjadi La. Nada G menjadi E atau Sol menjadi Mi dst.
Posisi 2 dan 3 bersamaan akan menurunkan nada open sebanyak 2 step. Nada C menjadi Gis atau Do menjadi Sel. Nada G menjadi Dis atau Es atau Sol menjadi Ri dst.

Posisi 1 dan 3 bersamaan akan menurunkan nada open sebanyak 2 ½ step.. Nada C menjadi G atau Do menjadi Sol dan Nada G menjadi D atau Sol menjadi Re dst.

Posisi 1, 2 dan 3 bersamaan akan menurunkan nada open sebanyak 3 step. Nada C menjadi Fis atau Do menjadi Fi dan nada G menjadi Cis atau Sol menjadi Di dst.

Model lain dari piranti pengatur nada itu adalah berupa slide yang operasinya dengan cara ditarik serta diulur. Uluran slide akan menambah ukuran panjang tabung, dan sebaliknya ketika slide ditarik, tabung akan memendek. Penambahan panjang bodi atau tabung dalam skala tertentu akan menurunkan nada sebanyak step tertentu pula.

Nada bisa diatur sesuai kemauan, tapi tentu dengan syarat harus ada bunyi. Sumber bunyi trumpet berasal dari mouthpiece. Mouthpiece ini bisa terbuat dari kayu, tulang, gading, perunggu, perak, emas, kuningan ataupun tembaga dll. Bentuknya seperti corong kecil, nyaris seperti model stetoskop pak dokter.

Cara membunyikannya dengan dibekapkan di bibir lalu ditiup. Variasi nada, tinggi-rendahnya, didapat dengan cara mengatur formasi bibir, merapat atau membiarkan tetap ndomble. Meski dapat saja mouthpiece itu menyuarakan beberapa nada, sesuai dengan posisi atau keketatan bibir kala meniup, tapi nada-nada yang dihasilkan belum memadai, belum cukup lengkap. Makanya mouthpiece perlu dibantu oleh piranti piston ataupun slide agar dapat bernada sempurna.

Meniup mouthpiece perkaranya hampir mirip dengan cara kita bersiul. Hanya saja ketika kita meniup trumpet, jangan lupa mouthpiecenya dipasang. Nah, dibalik mouthpiece itu, silahkan bibir sebal-sebul. Awalnya memang tidak gampang. Tapi setelah biasa, meniup trumpet bakal enak saja, tak perlu ngotot ataupun ngeden, tak perlu khawatir turun berok. Kagak ngaruh!

ANEKA DESAIN BRASSWIND

Ada 3 desain utama brasswind yang kita kenal yaitu: desain trumpet, desain bugle dan desain horn. Desain trumpet memiliki ciri bertabung silindris dan bergelung pipih. Bentuk bugle berciri bergelung pipih dan bertabung kerucut. Sedang desain horn berciri bergelung melingkar, bertabung kerucut dan bercorong lebar seperti bunga sedang mekar.

TRUMPET. Bentuk trumpet masa kini, kita semua tahu. Mouthpiece berada di salah satu ujung dan corong berada di ujung lainnya. Di tengah-tengah diantara bodi silindris yang bergelung pipih, terpasang piston sebagai alat bantu pengatur nada. Namun jauh berabad sebelumnya, trumpet itu hanya berupa pipa kayu panjang dengan ujung mencorong, berbentuk seperti corong. Alphorn merupakan salah satu dari model trumpet kuno itu, panjangnya mencapai lebih dari 2 meter dan banyak digunakan di daerah pegunungan Alpen. Dari catatan diketahui bahwa bahan metal telah digunakan menggantikan bahan kayu untuk membuat trumpet panjang tersebut pada abad ke 13.

Di awal abad ke 16, benda panjang metal itu terlihat telah digelung dalam 3 putaran sehingga nampak ringkas. Sama sekali masih polos, tanpa piranti pengatur nada, sehingga nada yang dihasilkan sangat minim. Kita mengenalnya sebagai sangkakala atau trumpet natural yang hanya bisa berbunyi Do - Sol serta nada oktaf do – mi – sol – li – do saja.

Upaya untuk melengkapi nada pada sangkakala terus dilakukan. Menjelang abad ke 18 crook atau batang pipa yang dapat diselipkan ke tabung pipa utama mulai dikenal, berfungsi untuk mengganti-ganti kunci nada. Tahun 1801 Anton Widinger dari Vienna mencoba melubangi bodi trumpet dan menempatkan klep bergagang yang dapat dibuka-tutup di atas lubang guna menghasilkan variasi nada. Pembaharuan terus berlangsung hingga pada akhirnya ditemukanlah piranti pengatur nada berupa piston.

BUGLE/CORNET. Kata Cor atau Cornu dalam bahasa latin berarti horn atau tanduk kerbau. Bugle atau buculus dalam bahasa latin artinya kerbau muda alias gudel dalam bahasa Jawa.

Sosok cornet, demikian kita biasa menyebutnya, meskipun modelnya nyaris sama dengan trumpet, namun terlihat lebih gemuk dan lebih mengerucut. Suaranya terdengar lebih dalam dan lembut. Bugle atau cornet sudah dikenal sejak jaman purba, dipakai sebagai alat komunikasi jarak jauh, Di abad pertengahan, bugle yang terbuat dari metal mulai dipakai di kemiliteran, sebagai aba-aba apel pagi siang dan malam. Pada tahun 1810 Joseph Holliday dari Irlandia menerapkan sistem piston pada bugle cornet. Orang bilang, si bogel, bukan bugil, lebih mudah dimainkan dibanding trumpet.

CORNO/FRENCH HORN. Satu dari alat musik kuno berbentuk seperti tanduk atau horn dan terbuat dari tembaga dikenal dengan nama Lur. Model yang lain adalah Cor de chasse dalam bahasa Perancis yang berarti hunting horn. Dalam perkembangannya alat musik itu berubah menjadi Corno atau disebut juga French horn.

French horn digelung bulat melingkar dengan corong yang ekstra lebar. Jauh sebelum ditemukan sistem crook ataupun piston, Anton Hampel telah mengenalkan tehnik bermain Corno atau French horn dengan bantuan jari-jari tangan. Sambil memangku dan meniup French Horn, tangan kanan pemain merogoh corong dan memanipulasi lubang corong itu untuk menghasilkan nada-nada tambahan. Meskipun sistim piston kemudian digunakan, namun gaya main French horn yaitu dengan merogoh corong masih tetap dipertahankan hingga sekarang. Sangat unik.

TROMBONE YANG MENYODOK.

Alat tiup yang satu ini bukan berpiston tapi berslide. Tarik dan ulur, seperti itulah cara mengatur nada pada trombone slide. Dengan slide ini trombone dapat menghasilkan nada-nada lengkap.

Di masa lalu tombone disebut sackbut dari bahasa Perancis saquer yang berarti tarik atau cabut dan bouter yang berarti ulur. Sistem slide memungkinkan trombone untuk dimainkan secara glissando yaitu menggelincirkan suara tanpa terputus. Trombone slide ini merupakan satu-satunya alat musik tiup yang sejak dari awal terciptanya sudah mampu menghasilkan nada lengkap, mampu meniti keseluruhan nada.

Anggota keluarga alat musik tiup brasswind masih banyak lagi seperti: Flugel Horn, Melophone, Tuba, Sausaphone dll. Mereka beraneka ukuran serta mewakili aneka wilayah nada, dari wilayah nada sopran, alto, tenor, baritone hingga wilayah nada bas.

Ketika satu jenis dari mereka bisa kita mainkan, kita kuasai, maka yang lain akan bisa pula kita tangani karena mereka memiliki kesamaan dalam cara meniup maupun cara mengatur nada.

Coba saja kalau enggak percaya.

Oleh: Yo. Anton Prihardianto

Thursday, March 17, 2011

YUK, MAIN SAXOPHONE


Tidak seperti yang terlihat, ternyata main saxophone itu cukup mudah. Beda dengan alatnya yang njlimet dan penuh tombol. Benda ini kalau sudah dipegang seolah lekat di tangan. Kalau sudah begitu, saxophone pun nurut saja. Mau ditiup lirih dia lirih dihembus keras dia lepas suaranya. Tidak ditiup, ya diam saja lah yauw….

Meski termasuk keluarga alat musik tiup kayu, tapi jarang dijumpai saxophone yang terbuat dari kayu. Saxophone dibuat dari kuningan mengingat sifatnya yang mudah dibentuk. Ada banyak macam saxophone namun yang paling santer disebut adalah saxophone sopran, alto, dan tenor. Yang sopran bentuknya lurus seperti yang dipakai Kenny G. Sedangkan golongan alto bentuknya sedikit melengkung seperti huruf "J". Jenis ini biasa ditiup oleh Dave Koz. Di atas alto ada saxophone tenor. Yang lebih besar lagi juga ada, saxophone baritone namanya. Penemunya Adolphe Sax dari Belgia, dipatenkan dan diproduksi massal tahun 1846.

Aslinya, suara saxophone itu halus dan lembut, sesuai dengan orkestra jaman itu. Namun, berhubung dalam perkembangannya dipakai sebagai pengiring musik dansa yang ingar bingar, mau tak mau saxophone harus ikut berteriak juga agar bisa didengar. Untuk itu lalu dilakukan modifikasi dengan membuat mouthpiece, sumber bunyi pada saxophone, menjadi lebih ramping dan lancip. Hasilnya, suaranya menjadi lebih keras, lebih wah.

Dalam perkembangannya, saxophone kemudian menjadi alat musik utama pada musik jazz. Tokoh-tokoh yang berkecimpung di situ bisa disebut misalnya John Coltrane, Charlie Parker, dan Stan Getz. Sekarang alat musik tiup ini sudah menjadi bagian dari hampir setiap jenis musik, mulai dari pop, reggae bahkan hingga dangdut.

DITIUP, JANGAN DIEMUT.

Kalau dibandingkan dengan alat musik tiup lainnya seperti flute, clarinet, oboe, ataupun bassoon, saxophone itu paling gampang dimainkan. Cara memainkannya sederhana saja, modalnya cuma do-re-mi. Karena hanya bermodalkan do-re-mi, maka dari mendengar lagu di teve kita sudah dapat menirukannya dengan persis plek. Dengan meniru saja sudah bisa, apalagi kalau paham not angka. Mahir dah. Makanya, bagi yang buta not balok tak perlu minder. Itu bukan halangan buat meniup saxophone dengan benar.

Cara mainnya begini: pegang bodinya, tangan kiri di sebelah atas, tangan kanan di sebelah bawah. Kedua jempol ditaruh di thumbrest, sedangkan jari lainnya di atas tombol yang sudah disiapkan. Setelah semua jari ada di tempatnya, mulailah tekan tombol key. Tekan satu-satu mulai telunjuk kiri, berikutnya jari tengah, dan jari manis. Kalau ditiup itu akan menghasilkan nada si – la – sol. Lanjutkan dengan tangan kanan, dari jari telunjuk dan berakhir di kelingking, itu akan menghasilkan nada fa – mi – re – do. Sekarang lepaskan tekanan satu per satu mulai dari bawah ke atas, do-re-mi-fa-sol-la-si, bolak-balik. Tekan, lepas, tekan, lepas, dan seterusnya. Tuh, ... sudah bisa 'kan?

Saking mudahnya, kita bisa berpantomim dulu dengan membayangkan memegang saxophone kalau sudah kebelet main tapi belum punya. Lalu lantunkan lagu: Ave Maria, Nderek Dewi Maria, ataupun Ayat-ayat Cinta. Juwita Malam, My Way, Happy Birthday, atau apapun lagu yang kita suka.

Kalau saxophone sudah di tangan, pelajaran pertama adalah meniup mouthpiece. Tut-tuuuttt ..., begitu cara meniupnya. Agar bisa bunyi, mouthpiece itu harus ditiup, jangan cuma diemut. Posisinya juga jangan sampai terbalik, sebab bibir akan terasa geli. Yang lihat ikut ikutan geli.

Selamat bersaxophone!

DIAJARI GRATIS.

Belajar saxophone gampang. Yang mungkin bisa bikin kita stres justru dimana sih kita bisa mendapatkan saxophone. Barangnya susah ditemukan, harganya mahal, gurunya langka, tukang reparasinya tidak kenal, dan segudang susah lainnya. Namun, jangan putus asa. Di Jakarta ada tempat yang khusus mengurusi dan menjadi gudangnya saxophone dan aneka macam alat musik tiup lainnya. Semua jenis dan semua merek ada, baru maupun bekas. Harganya miring, kondisinya prima dan digaransi. Hebatnya lagi, Anda akan diajari gratis…, sampai bisa!

Tempat yang dikenal dengan sebutan "RUMAH TIUP" dan berlokasi di kawasan Pasar Rebo Jakarta Timur itu memiliki misi memasyarakatkan saxophone. Targetnya mencetak seribu, dua ribu atau sebanyak mungkin penggemar dan pemain saxophone dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Pada gilirannya nanti akan membentuk klub penggemar dan pemain saxophone sebagai wadah bagi anggota untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman.

Oleh: Yo. Anton Prihardianto

Wednesday, March 16, 2011

KLEP SAXOPHONE


Beginilah model klep saxophone, bulat-bulat terbuat dari kulit tipis. Klep aneka ukuran ini perlu dipasang di "cup" nya dan akan berfungsi sebagai penutup lubang2 pengatur nada pada saxophone. Saat menutup lubang nada, klep2 ini harus benar2 rapat. Dan meskipun saxophonenya tua, asalkan klep2 nya bisa menutup rapat, maka saxophone itu akan dapat berfungsi/berbunyi dengan baik.

Monday, March 14, 2011

SAX PIPE


Pengin deh pesen cangklong model kayak gini. Pasti keren. Soalnya si cangklong ini tidak hanya bisa diisep tapi juga bisa disebul, jadi alat musik tiup, melantunkan lagu: cangklong-cangklong, cangklong yang dalam....dst.

Tuesday, March 8, 2011

SAX O BONE


Gbr: google image.

Saturday, March 5, 2011

PISSAX juga


Gbr. google image

PISSAX


Kalau begini ini pisang pun perlu salin nama jadi Pis-Sax. Halah...

Wednesday, March 2, 2011

SNAKEXOPHONE


Bolehlah benda "aneh" satu ini disebut SNAKEXOPHONE.

(Gbr. Google image)

Tuesday, March 1, 2011