Lokasi Pengunjung Blog
Sunday, January 20, 2013
“ALUNAN SAKSOFON, LAGU KEHIDUPAN”
Saksofon benar-benar menghidupi keluarga pasangan Anton Prihardianto dan Valentina Sri Yuniati. Anton adalah penggemar, pemain, kolektor, pelatih, dan ahli reparasi saksofon. Istrinya perigel berjual beli alat tiup tersebut.
(Oleh: Frans Sartono)
Lagu “Misty” mengalun dari rumah keluarga pasangan Anton Prihardianto (54) dan Valentina Sri Yuniati (54) di bilangan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Berada di rumah mereka, kita serasa dikepung saksofon dan beragam instrumen tiup lain. Tak kurang dari 180 alat tiup ada dalam koleksi mereka. Dari jumlah itu, sebanyak 125 unit adalah saksofon. Sisanya adalah oboe, fagot, trumpet, buggle, clarinet, flute, dan lainnya.
Saksofon datang dari aneka merek dan tahun pembuatan, seperti Buffet Crampon, Yanagisawa, Julius Keilwerth, Holton, Rampone Cazani, Buescher, Martin, Selmer, dan Conn. Koleksi tertua Anton berupa saksofon baritone merek Kessel Mathias berangka tahun 1898.
Pria asal Yogyakarta itu memang cinta mati kepada alat tiup temuan Antoine-Joseph “Adolphe” Sax (1814-1894) itu. Alkisah, suatu kali pada akhir era 1960-an, dalam acara Sekaten di Yogyakarta, Anton yang masih duduk di bangku SD melihat saksofon dimainkan orang di panggung. “Saya tertarik barangnya yang bentuknya apik, artistik,” kata Anton.
Baru 20 tahun kemudian setelah bekerja, Anton bisa membeli saksofon tenor merek Holton. Itupun berstatus seken alias barang bekas. Saat itu pun ia belum bisa memainkan. “Saya cuma pandang-pandang saja. Mau main tak ada yang ngajarin,” kata Anton yang otodidak bermain saksofon.
Ia lalu bergabung dengan band milik perusahaan tempatnya bekerja. Dalam acara perusahaan, ia pernah mengiringi penyanyi Emilia Contessa. Saksofon tenor Holton itu belakangan dijual. Dari hasil penjualan itu, Anton bisa memiliki dua saksofon jenis sopran dan alto. “Waktu itu saya sudah melihat prospek harga jual saksofon itu bagus,” kata istri Anton, Valentina Sri Yuniati atau Tina.
Itulah awal koleksi saksofon Anton. Koleksi lahir karena hobi. Dari hobi, kemudian melebar menjadi profesi keluarga. Anton menikmati hobi bermain saksofon, bermain dan mengajar. “Saya yang tukang jualannya ha-ha…,” kata Tina.
“Karena lihat suami seneng, ya saya support. Saya carikan saksofon mana ia sukai. Yang tidak ia sukai, saya jual,” kata Tina menambahkan.
HOBI KE PROFESI
Ketika krisis keuangan melanda negeri tahun 1998, Anton yang bekerja di sebuah perusahaan jasa keuangan terkena PHK. Untung ada saksofon yang menolongnya mencari penghasilan. Pada saat krisis, Tina pernah mencoba bisnis jahe di Pasar Induk, tetapi kena tipu orang. Ketika itu, Tina terpikir untuk menjual salah satu saksofon milik suanminya. Ia mengontak seorang teman yang menjadi instruktur marching band. Akan tetapi, sang teman justru menawarinya 18 saksofon untuk dijualkan. Tina menyambar peluang itu. Cukup pasang iklan di dua koran, 18 unit saksofon itu laku dalam waktu seminggu. Per unit saksofon itu, ia jual Rp 1.750.000, sementara harga di toko saat itu sekitar Rp 8 juta per unit.
“Saya waktu itu tidak terpikir untk ambil untung banyak. Dapat uang segitu saja, saya sudah syukur,” kata Tina yang menangguk keuntungan Rp 18 juta dari penjualan 18 unit saksofon. Sejak itu Anton dan Tina semakin yakin bisa hidup dari saksofon. Ia mencari saksofon baru ataupun bekas, lalu mencari pembeli.
Rupanya krisis ekonomi membawa berkah tersendiri bagi Anton dan Tina. Banyak perusahaan pemilik marching band yang tidak mampu lagi membiayai kelompok marching band. Sebagian dari perusahaan itu bahkan gulung tikar. Di antara pemilik marching band itu, ada yang menjual peranti marching band, termasuk saksofon.
Dua bulan setelah “kejatuhan rejeki” 18 saksofon itu, lagi-lagi Tina mendapat “durian runtuh”, yaitu berupa satu set marching band yang akan dilelang. “Kebetulan saat itu saya sedang dapat pesanan dari sebuah sekolah di Padang,: kata Tina yang mendapat keuntungan sekitar Rp 50 juta. Keuntungan itu kemudian menjadi modal awal berbisnis saksofon.
Kini Tina disamping mencari, juga menjual sebuah merek saksofon bikinan Taiwan. Selain itu, sejak tiga tahun lalu, ia memesan saksofon dari sebuah perusahaan alat musik di Taiwan dan menjualnya dengan merek Valentine, mirip namanya Valentina. Harga relative murah, yaitu Rp 4,5 juta sampai Rp 6 juta. Jauh lebih murah dibandingkan harga saksofon merek-merek terkenal yang bisa mencapai Rp 60 juta sampai Rp 90 juta. “Barang sekennya saja bisa Rp 35 juta,” kata Tina.
“Kalau beli (saksofon) Valentine di sini, bisa belajar gratis,” kata Anton.
KELUARGA SAKSOFON
Anton Prihardianto benar-benar menikmati hidup dari saksofon. Ia bermain saksofon di hajatan perkawinan atau di pesta-pesta keluarga. Selain itu, ia juga memberi les privat. Untuk datang ke rumah murid, ia memasang tarif Rp 250.000 per jam.
Di luar itu, saksofon masih memberi penghasilan ekstra. Anton menerima servis saksofon, termasuk menyetel, tuning, dan mengganti tutup lubang nada atau pad pada saksofon.
Dua anak pasangan Anton-Tina kini juga hidup dari saksofon. Adhesmiera Primayudha (35) dan Ardhaseta Rismayudha (32) berikut para menantu juga menjalankan usaha jual-beli dan pelatihan saksofon masing-masing di Jakarta dan Yogyakarta. Bahkan, cucu mereka kini juga sudah bisa meniup saksofon.
“We love saxophone, the way they look and the way they sound…” begitu terbaca pada blog Tina. Oleh karena itu, saksofon juga mencintai dan menghidupi keluarga mereka.
KOMPAS, Minggu 9 Desember 2012
Friday, January 18, 2013
Subscribe to:
Posts (Atom)