Lokasi Pengunjung Blog

Tuesday, September 30, 2008

Tralala trilili....




Seperti melayang..., begitulah rasanya kalau sudah pegang saxophone.

Kabar gembira dari seorang pelanggan...

Today, at the afternoon, I went to Pasar Rebo, an area in east Jakarta near to TB Simatupang. I brought my saxophone and tried to find an address which I found from the internet. I thought there was any element of my saxophone need to be repaired. The sound is like a sheep horn. Toeeeeett…. A few days ago I browsed at the internet and found this address. They call this saxophone gallery name as Valentine Shop. I was eager to ask many questions to the ‘sax shop keeper’ about saxophone, especially about how to position my mouth at the mouthpiece to produce better sound. I won’t know how to blow correctly if I don’t know how to bite the mouthpiece. This mouthpiece made me depressed. The sound is very bad. I need to close my room door and windows to avoid my sister suspicion what is going on at my room because of that noisy. It’s like a war siren and sheep horn. Hahahaha… Before I found the address at Pasar Rebo, I found the address at my digital map. According to the map I should took TB Simatupang Highway and took an exit way after Kampung Rambutan. I have to pay for 7,500 rupiahs only for a few kilometers from the start gate at Jagorawi Highway to the exit gate after Kampung Rambutan. How expensive… Arggghhh…

Finally I found the gallery after got lost for 1 hour at Social Department Residence. I saw many saxophones there. Most of them are vintage saxophones. They looked old and antique. I thought the owner of gallery is a collector of vintage saxophone. I met the owner. They are a couple of artist, I thought. They have many dogs at their house. The owner designs their house like museum of wind instruments. I saw many saxophones, a few trumpets, a few antique flutes, and an accordion. Although the house look a little bit scary, but the owner is a couple of nice guys. I was glad to meet them. They are artists. They taught me a little about how to blow the saxophone. I was cheer up because I can learn a little about the mouthpiece. They encourage me to more practice and don’t give up. They believe I can learn the saxophone in a month. Wow… I was cheer-up again. LOL. They gave me practice notes and a few songs for my practice at home. They are such a nice guys. I’m going to learn saxophone at their gallery every week. Wish me luck with my sax lesson.

- Poltak Jefferson -

Monday, September 29, 2008

Milih Mouthpiece..., Piye Jal?


Peran mouthpiece & reed saxophone tidak boleh disepelekan, karena merekalah sumber suara. Tanpa dua sejoli itu saxophone akan bisu seribu nada. (Lha hiya lah!). Dan mouthpiece kebanyakan dibuat dari ebonit ataupun metal. Tapi ada juga yang dibuat dari bahan kayu, plastik, porselen delele.

Ada yang bilang bahwa mouthpiece metal bersuara lebih keras ketimbang yang berbahan lain. Tapi menurut saya, material mouthpiece tidak berpengaruh terhadap keras lembeknya, tidak berpengaruh terhadap warna suara yang dihasilkan. Mau pakai bahan metal kek, ebonit kek, plastik kek atau tekek kek, semua akan sama saja. Yang lebih berperan kepada perbedaan warna suara adalah bentuk dan dimensi rongga di dalam atau chamber nya.

Memang sih, bahan metal memiliki keuntungan dibandingkan bahan lain, yakni memungkinkan untuk mmembuat mouthpiece dengan model ramping (Karena metal cukup kuat/keras). Mouthpiece ebonit saxophone bariton atau tenor yang segede pisang ambon itu misalnya, bisa dibuat dengan bahan metal menjadi cukup sebesar..., sosis. Sehingga mulut ini masih bisa "menglamut" nya dengan nyaman.

Tidak cuma "chamber" saja yang mempengaruhi tone suara, tapi reed juga punya andil. Jadi kombinasi antara mouthpiece dan reed itulah yang menentukan enak tidaknya, menentukan merah hijaunya warna suara saxophone, entah bright, dark, jazzy, sember dsb.

Tapi bagaimana cara kita bisa nyeting mouthpiece dan reed sehingga diperoleh suara yang siiip? Menurut saya, tidak bisa tidak, mau tidak mau, caranya adalah dengan..., mencoba! Ya, hanya ada satu kata..., coba saja! Jangan pernah beli mouthpiece tanpa ngeces, tanpa ngetes!

Di toko, mana boleh mouthpiece ditest, dicoba en dijajal? Dulurs jangan bingung, jangan sutris, datang saja ke Gallery Saxophone Tina, dan silahkan nyebal-nyebul njajal mouthpiece..., sak kemenge!
Piye jal?

Salam dahsyat.

Anton & Tina Sax
We love saxophone, the way they look and the way they sound.

Main Trumpet Asyik-asyik Aja



Meski suaranya apik, merdu dan mendayu, meniup trumpet sepertinya perlu ngotot, perlu ngeden, membuat kita ciut nyali, enggan untuk mencoba, khawatir turun berok. Padahal kalau kita tahu siapa dia dan paham cara meniupnya, bermain slompret ternyata mengasyikkan.
--------------------------------

Di lapangan, seorang mayoret terlihat tengah beraksi memimpin barisan marching band. Bodinya yang sintal semampai bak peragawati berbalut kostum mini berhias rumbai-rumbai mampu menarik perhatian penonton. Terutama kaum cowok jomblo. Tongkat komandonya sesekali dilempar tinggi ke udara dan hap! …,lalu ditangkap.

Barisannya terdiri dari beberapa kelompok diantaranya peniup trumpet. Trumpet-trumpet yang dimainkan itu nampak serba mengkilat mengesankan kilau logam. Berkilau, karena sememangnya mereka terbuat dari logam, dari bahan kuningan dilapis krom, perak atau warna emas. Karena metal kuningan itulah maka alat musik tiup trumpet memperoleh julukan sebagai alat musik tiup logam alias brasswind. Julukan ini berlaku untuk seluruh brayat trumpet seperti Cornet, Corno, French Horn, Trombone, Tuba dsb.

Ukuran brasswind itu berbeda-beda, ada yang seukuran botol bir dan ada pula yang sebesar ular Anaconda, mewakili aneka wilayah nada, sopran, alto, tenor atau bas. Agar ringkas, mereka ditekuk-tekuk dan digelung-gelung. Model tekukan dan gelungan bervariasi, ada yang ditekuk mirip klip penjepit kertas memo, ada yang dibuat serupa peniti, ada juga yang dimodel spiral persis obat nyamuk bakar.

Bunyinya…, keras! Satu trumpet mampu berteriak sekuat tenaga 6 watt sehingga pantas kalau trumpet kemudian dipilih untuk mengisi formasi musik lapangan seperti marching band itu. Satu saja sudah vokal, apalagi kalau krubutan. Rame dah! Gaya memainkannya aneka macam, ada yang dipeluk, dikalungkan, atau cukup ditenteng saja.

Tidak hanya jago di lapangan, mereka ternyata juga jago main di kamar, di pagelaran musik kamar. Kita dapat menyaksikan aksinya, dapat mendengar suaranya yang kadang mendesah, kadang menyalak, disela bunyi alat musik gesek, alat petik, perkusi dan lain-lain.

Bukan itu saja, brasswind biasa pula hadir di panggung hiburan musik tanjidor, di panggung musik jazz, tampil mengiringi musik dansa hura-hura, mengiringi kirab prajurit kraton, mengiringi upacara pengibaran bendera, upacara pelepasan jenasah, mengiringi pertunjukan sirkus, memusiki film kartun semacam Tom & Jerry.

Di jalur musik jazz, nama beken seperti Louis Armstrong atau Mile Davis sudah tidak asing lagi bagi telinga kita. Mereka adalah para kampiun, para peniup trumpet kaliber dunia.

MENARIK DAN MENGESANKAN

Kita pasti penasaran melihat alat pengatur nada trumpet yang hanya berupa 3 buah piston. Meskipun berpiranti sederhana namun trumpet mampu menjelajah semua nada, lengkap hingga ke nada-nada kromatik. Menarik!

Dan lagi, meskipun berbeda ukuran, berbeda bentuk dan berbeda latar belakang, namun semua brasswind dibunyikan dengan cara yang sama yaitu dengan cara ditiup mouthpiecenya. Dan tanpa janjian, mouthpiece atau piranti bantu sumber bunyi masing-masing mereka memiliki desain yang nyaris serupa.

Piranti pengatur nada trumpet biasa kita sebut piston. Jumlah piston cuma 3 namun alat musik itu mampu menyuarakan banyak nada, do-di-re-ri-mi-fa-fi-sol dst. lengkap hingga mencapai lebih dari 2 ½ oktaf.

Sistim piston yang dikembangkan untuk pertama kalinya di Jerman oleh Heinrich Stolzel pada 1814 dulunya berupa tabung atau selongsong mirip spet suntikan. Di dalam tabung terdapat piston beserta kelengkapannya seperti gagang piston dan per. Adanya per membuat piston dapat ditekan dan kembali membal.

Beberapa lubang seperti liang terdapat di bodi piston. Liang-liang ini berfungsi menyalurkan udara ke jalur nada yang dituju. Perubahan posisi piston, naik atau turun akan membuka atau menutup lubang saluran dan mengubah arah aliran serta jarak tempuh udara di dalam tabung. Makin panjang jarak, nada makin merendah.

Penemuan piston ini sangat penting. Dengan piston kita tidak perlu lagi repot-repot menggonti-ganti sulur bodi, menambah atau mengurangi panjangnya guna mendapatkan suara yang pas. Cukup dengan mencet-mencet tombol piston saja dan…, semuapun beres. Piston sebagai pengatur nada ini dapat diaplikasikan ke semua jenis alat musik brasswind, baik yang berukuran kecil, sedang maupun besar. Pengembangan sistim piston dilakukan kemudian oleh Perinet dari Berlin pada 1838.

CARA NADA DIHASILKAN

Cara kerja piston cukup simple. Posisi piston tanpa ditekan disebut posisi open. Kode angka 1 merujuk pada aksi menekan piston pertama, menggunakan jari telujuk tangan kanan, disebut posisi 1. Angka 2 adalah piston ke dua, ditekan dengan jari tengah, disebut posisi 2. Angka 3 untuk piston ke tiga ditekan dengan jari manis disebut posisi 3. Nomor urut piston dihitung mulai dari piston pertama yang berada paling dekat mouthpiece, piston kedua berada ditengah dan piston ke tiga berada dekat ke corong.

Posisi open, tanpa menekan, akan menghasilkan nada-nada harmoni C /G/c/e/g/bes dan c. atau DO – SOL – do – mi – sol – li – do. (Nada oktaf dicapai dengan bantuan formasi bibir atau embouchure yang mengetat ketika meniup mouthpiece).

Posisi 2, yaitu aksi menekan piston ke 2 akan membawa nada-nada open turun ½ step, nada. C menjadi B atau Do menjadi Si. Nada G turun setengah menjadi Fis atau Sol menjadi Fi dan seterusnya.
Posisi 1, yaitu menekan piston ke 1 akan membuat nada open turun sebanyak 1 step. Nada C menjadi Bes atau Do menjadi Li. Nada G turun satu menjadi F atau Sol menjadi Fa dst.

Posisi 1 dan 2 bersamaan, yaitu dengan menekan piston ke 1 dan ke 2 secara bersamaan akan menurunkan nada open sebanyak 1 ½ step. Nada C menjadi A atau Do menjadi La. Nada G menjadi E atau Sol menjadi Mi dst.
Posisi 2 dan 3 bersamaan akan menurunkan nada open sebanyak 2 step. Nada C menjadi Gis atau Do menjadi Sel. Nada G menjadi Dis atau Es atau Sol menjadi Ri dst.

Posisi 1 dan 3 bersamaan akan menurunnkan nada open sebanyak 2 ½ step.. Nada C menjadi G atau Do menjadi Sol dan Nada G menjadi D atau Sol menjadi Re dst.

Posisi 1, 2 dan 3 bersamaan akan menurunkan nada open sebanyak 3 step. Nada C menjadi Fis atau Do menjadi Fi dan nada G menjadi Cis atau Sol menjadi Di dst.

Model lain dari piranti pengatur nada adalah berupa slide yang operasinya dengan cara ditarik serta diulur. Uluran slide akan menambah ukuran panjang tabung, dan sebaliknya ketika slide ditarik, tabung akan memendek. Penambahan panjang bodi atau tabung dalam skala tertentu akan menurunkan nada sebanyak step tertentu pula.

Nada bisa diatur sesuai kemauan, tapi tentu dengan syarat harus ada bunyi. Sumber bunyi trumpet berasal dari mouthpiece. Mouthpiece ini bisa terbuat dari kayu, tulang, gading, perunggu, perak, emas, kuningan ataupun tembaga dll. Bentuknya seperti corong kecil, nyaris seperti model stetoskop pak dokter.

Cara membunyikannya dengan dibekapkan di bibir lalu ditiup. Variasi nada, tinggi-rendahnya, didapat dengan cara mengatur formasi bibir, merapat atau membiarkan tetap ndomble. Meski dapat saja mouthpiece itu menyuarakan beberapa nada, sesuai dengan posisi atau keketatan bibir kala meniup, tapi nada-nada yang dihasilkan belum memadai, belum cukup lengkap. Makanya mouthpiece perlu dibantu oleh piranti piston ataupun slide agar dapat bernada sempurna.

Meniup mouthpiece perkaranya hampir mirip dengan cara kita bersiul. Hanya saja ketika kita meniup trumpet, jangan lupa mouthpiecenya dipasang. Nah, dibalik mouthpiece itu, silahkan bibir sebal-sebul. Awalnya memang tidak gampang. Tapi setelah biasa, meniup trumpet bakal enak saja, tak perlu ngotot ataupun ngeden, tak perlu khawatir turun berok. Kagak ngaruh!

ANEKA DESAIN BRASSWIND

Ada 3 desain utama brasswind yang kita kenal yaitu: desain trumpet, desain bugle dan desain horn. Desain trumpet memiliki ciri bertabung silindris dan bergelung pipih. Bentuk bugle berciri bergelung pipih dan bertabung kerucut. Sedang desain horn berciri bergelung melingkar, bertabung kerucut dan bercorong lebar seperti bunga sedang mekar.

Bentuk trumpet masa kini, kita semua tahu. Mouthpiece berada di salah satu ujung dan corong berada di ujung lainnya. Di tengah-tengah diantara bodi silindris yang bergelung pipih, terpasang piston sebagai alat bantu pengatur nada.

Jauh berabad sebelumnya, trumpet itu hanya berupa pipa kayu panjang dengan ujung mencorong, berbentuk seperti corong. Alphorn merupakan salah satu dari model trumpet kuno itu, panjangnya mencapai lebih dari 2 meter dan banyak digunakan di daerah pegunungan Alpen. Dari catatan diketahui bahwa bahan metal telah digunakan menggantikan bahan kayu untuk membuat trumpet panjang tersebut pada abad ke 13.

Di awal abad ke 16, benda panjang metal itu terlihat telah digelung dalam 3 putaran sehingga nampak ringkas, mudah ditenteng untuk diajak ngamen. Sama sekali masih polos, tanpa piranti pengatur nada, sehingga nada yang dihasilkan sangat minim. Kita mengenalnya sebagai sangkakala atau trumpet natural yang hanya bisa berbunyi Do - Sol serta nada oktaf do – mi – sol – li – do.

Upaya untuk melengkapi nada pada sangkakala terus dilakukan. Menjelang abad ke 18 crook atau batang pipa yang dapat diselipkan ke tabung pipa utama mulai dikenal, berfungsi untuk mengganti-ganti kunci nada. Tahun 1801 Anton Widinger dari Vienna mencoba melubangi bodi trumpet dan menempatkan klep bergagang yang dapat dibuka-tutup di atas lubang guna menghasilkan variasi nada. Pembaharuan terus berlangsung hingga pada akhirnya ditemukanlah piranti pengatur nada berupa piston.

Kata Cor atau Cornu dalam bahasa latin berarti horn atau tanduk kerbau. Bugle atau buculus dalam bahasa latin artinya kerbau muda alias gudel dalam bahasa Jawa.

Sosok cornet, demikian kita biasa menyebutnya, meskipun modelnya nyaris sama dengan trumpet, namun terlihat lebih gemuk dan lebih mengerucut. Suaranya terdengar lebih dalam dan lembut. Bugle atau cornet sudah dikenal sejak jaman purba, dipakai sebagai alat komunikasi jarak jauh, Di abad pertengahan, bugle yang terbuat dari metal mulai dipakai di kemiliteran, sebagai aba-aba apel pagi siang dan malam. Pada tahun 1810 Joseph Holliday dari Irlandia menerapkan sistem piston pada bugle cornet. Orang bilang, si bogel, bukan bugil, lebih mudah dimainkan dibanding trumpet.

Satu dari alat musik kuno berbentuk seperti tanduk atau horn dan terbuat dari tembaga dikenal dengan nama Lur. Model yang lain adalah Cor de chasse dalam bahasa Perancis yang berarti hunting horn. Dalam perkembangannya alat musik itu berubah menjadi Corno atau disebut juga French horn.

French horn digelung bulat melingkar dengan corong yang ekstra lebar. Jauh sebelum ditemukan sistem crook ataupun piston, Anton Hampel telah mengenalkan tehnik bermain Corno atau French horn dengan bantuan jari-jari tangan. Sambil memangku dan meniup French Horn, tangan kanan pemain merogoh corong dan memanipulasi lubang corong itu untuk menghasilkan nada-nada tambahan. Meskipun sistim piston kemudian digunakan, namun gaya main French horn yaitu dengan merogoh corong masih tetap dipertahankan hingga sekarang. Sangat unik.

TROMBONE YANG MENYODOK

Alat tiup yang satu ini bukan berpiston tapi berslide. Tarik dan ulur, seperti itulah cara mengatur nada pada trombone slide. Dengan slide ini trombone dapat menghasilkan nada-nada lengkap.

Di masa lalu tombone disebut sackbut dari bahasa Perancis saquer yang berarti tarik atau cabut dan bouter yang berarti ulur. Sistem slide memungkinkan trombone untuk dimainkan secara glissando yaitu menggelincirkan suara tanpa terputus alias bisa meraung-raung. Trombone slide ini merupakan satu-satunya alat musik tiup yang sejak dari awal terciptanya sudah mampu menghasilkan nada lengkap, mampu meniti keseluruhan nada.

Anggota keluarga alat musik tiup brasswind masih banyak lagi seperti: Flugel horn, Melophone, Tuba, Sausaphone dll. Mereka beraneka ukuran serta mewakili aneka wilayah nada, dari wilayah nada sopran, alto, tenor, baritone hingga wilayah nada bas yang paling ngebas.

Ketika satu jenis dari mereka bisa kita mainkan, kita kuasai, maka yang lain bisa pula kita tangani karena mereka memiliki kesamaan dalam cara meniup maupun cara mengatur nada. Coba saja kalau enggak percaya.

Anton Prihardianto

Grenadilla


Pohon Grenadilla ini tumbuh di padang kerontang Afrika, cari makan saja susah, membuat batangnya menggeliat seakan menahan lapar....

Sunday, September 28, 2008

“Si Hitam Bersuara Merdu”



Di balik suara merdu klarinet dan oboe ternyata tersimpan hampir seabad jeritan pohon grenadilla yang terpanggang di teriknya benua Afrika. Pohon yang dikenal dengan nama kayu hitam afrika itu kini terancam punah.
------------------------------------------------------

Enak betul, malam Minggu nonton acara orkestra, di TV, gratis. Serombongan pemusik terlihat ramai-ramai memainkan beragam peralatan musik. Ada yang ditiup, dipukul, dipetik atau digesek. Mereka semua serius menyimak partitur sambil sesekali matanya melirik sang konduktor yang bersemangat memberi aba-aba. Kedua tangan konduktor mengepak-ngepak seakan ingin terbang bersama nada yang berhamburan keluar dari instrumen musik yang dimainkan anggotanya.

Di close-up, tampak seorang pemain sedang meniup klarinet, bergantian dengan peniup oboe di sebelahnya. Kedua alat musik itu lurus seperti tongkat komando, warnanya hitam dengan pernak-pernik metal di sana-sini, berkesan eksotis. Suaranya bak buluh perindu, alias merdu.

Semula saya mengira, batang hitam itu adalah kayu eboni atau sonokeling seperti yang kita kenal dan ada di negeri kita. Cirinya mirip, berwarna gelap, bertekstur halus dan berserat lurus seperti rambut direbonding. Sayang seribu sayang, kayu hitam itu ternyata bukan dari Indonesia melainkan dari Afrika, Dalam industri musik, kayu hitam afrika itu populer dengan sebutan grenadilla.

Grenadilla Sang Primadona

Grenadilla memang bukan kayu sembarangan. Tingkat kekerasan, keuletan, kepadatan, serta kestabilannya sangat tinggi, melebihi kayu hitam kandidat lain. Teksturnya halus, seratnya lurus, dan sifat akustiknya bagus. Tampilannya juga oke, hitam manis.

Sudah layak dan sepantasnya kalau grenadilla kemudian terpilih sebagai bahan utama untuk membuat alat musik yang ekstra sensitif seperti klarinet dan oboe. Grenadilla sang kayu pilihan itu patut dipilih karena memiliki karakter yang serba prima. Klarinet dan oboe kualitas terbaiklah yang kemudian dapat dihasilkan olehnya.

Yang membuat kita heran, kok ya ada pohon seperti itu. Pohon yang mampu memenuhi harapan banyak orang, mampu menyuarakan nada-nada indah dan lembut, tidak sumbang ataupun menyebalkan. Sudah pasti itu pohon sangatlah istimewa. Beringin jelas tidak selevel, terlalu lembek di hadapannya.

Sosok Grenadilla

Jangan kita membayangkan pohon yang besar, tinggi menjulang di belantara hutan dengan seribu monyet berkejaran di dahan serta rantingnya. Sosok pohon grenadilla itu kurus dan kecil. Umur 70 tahun, tingginya paling banter cuma 9 meter dengan diameter seukuran pinggang. Hidupnya di padang kerontang Afrika, cari makan saja susah, membuatnya tumbuh sangat lambat. Batangnya menggeliat, seakan sering menahan lapar. Daunnya kecil, kadang rontok.

Tampilan luarnya sama sekali tidak menarik. Bahkan monyetpun memandangnya hanya dengan sebelah mata. Mereka tidak tahu bahwa di balik sosok yang kurang flamboyan itu terdapat kekuatan sekaligus kelembutan yang luar biasa.

Nyaris Punah

Monyet tidak berminat, tapi oranglah yang tergila-gila. Saking gilanya, nekat foya-foya tebang sana tebang sini. Asyik menebangi, hingga lupa melestarikan. Akibatnya pohon nyaris habis, kini tersisa hanya cukup untuk dua dasawarsa. Setelah itu, ya bye-bye.

Sungguh disayangkan, pohon sekeras baja yang telah membuat rayap pun ngacir khawatir ngilu itu, kini terancam mati kutu, terancam punah.

Mirip Dakocan

Kulit pohon grenadilla berwarna coklat susu seperti kulit boneka barbie, sementara kayunya berwarna hitam mirip dakocan. Oleh kalangan ahli botani pohon itu diberi nama Dalbergia Melanoxylon. Melanos artinya hitam. Bukan lantaran terik matahari Afrika yang membuatnya berwarna gosong seperti itu, tapi karena adanya unsur hitam yang dikandungnya. Persisnya unsur apa, sengaja tidak dipaparkan di sini karena ini menyangkut "ilmu hitam", takutnya malah bikin runyam. Harap maklum.

Mohon dimaklumi juga kalau kita terkadang bingung ketika melihat gambar sepotong kayu grenadilla diantara sepasang kaki penduduk Afrika. Sungguh sulit dibedakan, mana betis mana kayu. Soalnya, keduanya sama-sama kurus dan legam.

Mpingo

Grenadilla tumbuh di benua Afrika, dari Ethiopia sampai Angola, dari Senegal di sebelah barat hingga Tanzania di bagian timur. Paling banyak terdapat di Mozambique dan Tanzania. Grenadilla adalah sebutannya dalam bahasa daerah Mozambique. Daerah lain menamainya Mpingo. Nama aliasnya masih berderet panjang, kalau ditulis semua akan menjadi seperti litani. Puluhan gelar padahal yang dimaksudkan ya itu-itu juga.

Pohon Tua

Jenis pohon yang satu ini tumbuh pelan. Seusia kita pensiun, pohon itu masih tergolong balita. Kita mulai tremor dan pikun, grenadilla baru beranjak remaja. Kita menua dan lalu almarhum, pohon itu baru bisa disebut dewasa, siap dipanen. Bahasa kasarnya, bila kita menanam, anak cucu kita yang akan memanen.

Kayu terbaik, kelas wahid, disiapkan sebagai bahan untuk membuat alat musik klarinet dan oboe. Kelas dua dibuat mebel, patung dan sebagainya. Sisanya oleh penduduk setempat dipungut dan dibikin menjadi arang atau kayu bakar.

Tak Ada Tandingan

Sebagian besar musisi papan atas merasa bahwa klarinet dan oboe yang dibuat dari kayu grenadilla memiliki suara yang lebih indah dibanding bahan lain. Demikian juga soal keawetan, keindahan serta kekuatannya. Grenadilla memang belum ada tandingan, dari dulu hingga sekarang.

Faktor awet dan kuat ini memang vital. Bayangkan seandainya klarinet dibuat dari kayu kelapa. Belum lama dimainkan mungkin sudah keropos. Atau seandainya oboe terbuat dari batang tebu. Boro-boro ditiup, karena manis dan empuk, mungkin malah cuma diisep-isep. Sekali pakai bakal tinggal sepahnya saja. Habis manis, sepahpun dibuang.

Mahal

Dari Afrika, kayu itu diangkut ke Eropa, ke pabrik pembuat alat musik tiup yang banyak terdapat di Perancis dan sekitarnya. Hal ini sudah berlangsung sejak lama. Hanya kayu yang benar-benar berkualitas yang terpakai. Saking pilih-pilih, dari satu pohon paling pol cuma bisa diperoleh 10% nya saja. Dari jumlah yang sedikit itu, seperlima bagiannya lagi akan rusak di dalam proses produksi.

Tergambar betapa sedikit dan langkanya bahan itu. Tak heran kalau grenadilla kemudian menjadi salah satu kayu mahal di dunia. Per meter kubik berharga ratusan juta rupiah. Bandingkan dengan kayu kamper yang biasa kita beli di toko material. Beda jauh! Sebuah kursi malas ditambah sebatang tongkat dari kayu hitam afrika mungkin setara dengan nilai sebuah sepeda motor Harley Davidson bikinan Amerika.

Perlu 15 Bulan

Tak cuma bagi manusia. Grenadilla juga berguna bagi komunitas savana Afrika. Akarnya memiliki benjolan yang mampu mengikat nitrogen sehingga menyuburkan tanah. Daunnya merupakan gantungan hidup satwa herbivora, misalnya jerapah. Kulit kayunya digunakan untuk menyetop diare. Singa juga suka memanfaatkan kayu itu untuk menggaruk punggungnya yang gatal. Akarnya dibakar dan asapnya dihirup, katanya bisa mengusir tidak hanya nyamuk tapi juga mengobati sakit kepala dan flu. Masih banyak pengobatan tradisional di wilayah Afrika yang menggunakan kayu hitam ini sebagai bahan dasarnya. Tak heran grenadilla lalu dielu-elukan sebagai Pohon Nasional Tanzania.

Sayangnya, ketersediaan pohon yang memiliki nilai strategis ini mulai menipis. Kaderisasi seharusnya dilakukan segera. Namun literatur yang berisi penelitian soal tanaman ini masih sedikit. "Hal itu menyulitkan kami untuk merancang strategi praktis konservasi," kata Steve Ball, co leader tim yang melakukan ekspedisi Tanzanian Mpingo 98, satu dari tiga ekspedisi yang dilakukan untuk merancang sistem konservasi grenadilla.

Dunia baru memperhatikan kesedihan grenadilla ketika tanaman ini difilm dokumenterkan oleh BBC, dengan tajuk Pohon Musik pada tahun 1992. Film itu ditayangkan di AS dalam acara Nature. Tahun 1996 pun didirikanlah Proyek Konservasi Kayu Hitam Afrika oleh James Harris, tukang bubut dari Texas, AS, dan Sebastian Chuwa, ahli botani dari Moshi, Tanzania bagian utara.

Mimpi awal proyek ini adalah menanam grenadilla dalam area seluas 1 acre (sekitar 4.000 m2) yang disumbangkan oleh sebuah desa di Moshi. Sejak 1986 Chuwa sudah berupaya menyelamatkan grenadilla tanpa sumbangan dana dari luar. Bersama Harris ia menemukan fakta bahwa perlu waktu 15 bulan bagi semaian grenadilla untuk bisa ditanam di alam bebas. Saat itu ia sudah tahan terhadap panas Matahari dan serangan serangga yang bisa mengancam kelangsungan hidupnya.

Jika bisa bertahan, butuh 70 – 100 tahun lagi bagi grenadilla untuk bisa diolah menjadi alat musik yang bersuara merdu. Jika gagal, klarinet dan oboe yang menemani malam Minggu kita bakalan bersuara memelas dan sumbang.

Imitasi

Klarinet dan oboe yang terkenal di antaranya bermerek Buffet Crampon, Henri Selmer dan Marigaux. Pabrik-pabrik itu spesial membuat produk berkelas berbahan grenadilla. Segmennya bukan pemain amatiran, tapi para profesional yang memang membutuhkan produk berkualitas, agar dapat tampil prima.

Produsen lain seperti Yamaha misalnya, selain bikin asli juga memproduksi klarinet dan oboe berbahan imitasi, dari remah-remah grenadilla dicampur resin atau dari bahan ebonite (bahan plastik yang dihitamkan sehingga menyerupai eboni).

Tentu saja yang imitasi ini harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan yang orisinil, diperuntukkan bagi pelajar atau para pemula. Tarip pelajar diberlakukan agar dapat dijangkau oleh semua calon pelajar dan penggemarnya, supaya mereka jangan cuma ngiler.

Terus terang pemula seperti kita ini belum begitu mudeng, belum paham soal kualitas suara. Mau asli atau imitasi, klarinet ataupun oboe yang kita tiup akan bersuara sami mawon. Untuk belajar, kita bisa cari yang murah dulu. Kalau sudah pintar dan jadi profesional nanti…, itu lain perkara!

Untuk sementara, klarinet dan oboe dari remah atau ebonite sudah sangat memadai bagi kita. Pokoknya bisa bunyi. Ibarat mau pergi ke pasar, kita tidak perlu menggunakan mobil Jaguar, cukup bajay saja, toh bakalan nyampe. Kalau sudah pintar dan jadi pejabat nanti…, itu lain perkara!

Kayu Hitam Lokal

Kayu hitam dalam negeri seperti sonokeling (Dalbergia Latifolia) yang banyak terdapat di Jawa maupun eboni (Diospyros Celebica) di Sulawesi, nasibnya tidak seberuntung grenadilla (Dalbergia Melanoxylon) yang berhasil terpilih sebagai bahan utama pembuat bodi klarinet serta oboe kualitas nomer satu. Apa mau dikata.

Meskipun tampilan luar nyaris sama, tapi ternyata kualitaslah yang menentukan. Kayu-kayu hitam tersebut satu sama lain berbeda tingkat kepadatan, berat serta kekuatannya. Itu semua tercermin lewat angka specific gravity nya. Grenadilla memiliki angka tertinggi yaitu 1,12. Eboni 1,0 sonokeling 0,85 dan sebagai pembanding, kayu jati 0,59. Angka 1 ke atas termasuk kategori kayu sangat kuat dan keras. Di bawah angka itu berarti sedang-sedang saja.

Menyadari kalau kalah bersaing dengan si hitam dari Afrika, sonokeling dan eboni Indonesia memilih diam membisu. Tidak jadi klarinet alias tidak bersuara, tidak apa-apa. Ora pateken. Toh masih bisa jadi produk lain.


Anton Prihardianto

Selmer Mark VII








Seperti inilah detail model saxophone Selmer Mark VII, yang kemudian dijadikan acuan oleh banyak merek saxophone masa kini. Model kayak gini ini enak dimainkannya.

Koleksi, alto saxophone SML Rev D.



Type : Alto Saxophone
Maker : SML
Model : Rev D
Serial No. : 13388
Vintage : 1955 - 1956

SML (Charles Strasser, Marigaux & Lemaire) berdiri tahun 1934. Mulai membuat saxophone sejak berdirinya, dan berhenti memproduksi saxophone tahun 1982. (Karena tak bisa bersaing dengan saxophone SELMER?). SML lebih populer dengan produk Oboe nya.

Sax alto SML Rev D ini sekelas dengan Selmer MARK VI, dibuat tahun 1955, di era yang sama dengan selmer Mark vi.

Saturday, September 27, 2008

Industri Saxophone di masa lalu

Ada puluhan industri saxophone yang berdiri sejak pertengahan abad 18, di Eropa dan Amerika, di antaranya:

Adolphe Sax.................. 1846 di Bruxelles
Hawkes & Son................. 1860 di London
Grass J...................... 1868 di Lille
Conn CG...................... 1879 di Elkhart
Dolnet....................... 1880 di Mantes
Kessel Matthias JH........... 1880 di Tilburg
Couesnon..................... 1882 di Paris
Henri Selmer................. 1885 di Paris
Buffet Crampon............... 1887 di Paris
Buescher..................... 1888 di Elkhart
Holton Frank................. 1917 di Elkhorn
Keilwerth.................... 1920 di Graslitz
SML.......................... 1934 di Paris
Dsb.

Beberapa nama di antaranya kini sudah almarhum.

Bariton Sax



Saxophone Bariton,
Mouthpiece, seperti punya Clarinet (single reed).
Body, berbentuk kerucut, seperti Oboe & Bassoon. (Beda dengan body clarinet maupun flute yang berbentuk silinder)
Bahan dasar dari kuningan (brass), seperti trumpet (brasswind), supaya mudah dibentuk. (Bukan dari kayu)
Sistim fingering, seperti flute. (Sistem fingering pada flute moderen, memungkinkan diterapkan pada alat/instrumen ukuran besar).
Dan saxophone ukuran besar seperti inilah yang pertama kali dibuat oleh Adolphe Sax (Bas Saxophone in C).

Saxophone sopran = metal oboe dengan mouthpiece clarinet?

Oboe



Hitamnya alat musik tiup oboe ini bukan lantaran dicat warna hitam, tapi karena memang dibuat dari bahan kayu hitam Afrika (Grenadilla);

Piranti tiupnya berupa dua membran (double reed), persis seperti piranti tiup pada Bassoon. Bentuk tabungnya tidak lurus tetapi mengerucut, sama dengan model tabung saxophone. Dan sesunggguhnya, manakala oboe ini dipasangi mouthpiece model punya clarinet (single reed), jadilah dia..., saxophone!
Piye jal?

BASSOON

Bass Clarinet

Flutist

Kisah Seruling yang Digemari Wanita



Suaranya jernih menghanyutkan. Membawa kita ke suasana dan tempat yang damai dan tenang. Hmmm…uenak tenaaan. Seruling, suling atau flute memang selalu enak. Enak didengar, enak dimainkan. Apa yang membuatnya jadi begitu istimewa?
---------------------------------------------

Suara tiupan seruling bak buluh perindu. Mengalun merdu ketika mengiringi Sundari Sukoco menyanyi lagu keroncong. Sundari memang oke, tapi musik keroncong tanpa suara flute…, no way, bagai rendang tanpa rasa cabe. Bukan hanya keroncong. Ia juga eksis dalam musik klasik, pop maupun jazz. Berkat alunan suaranya, musik-musik itu melahirkan nuansa romantis, lembut, hangat, berbunga-bunga. Indah.

Bodinya yang lurus dan langsing memberinya kesan feminin. Bukan macho seperti sosok saxophone, alat tiup kerabat dekatnya, yang bertubuh lebih besar bahkan dengan corong yang mengacung. Gerak bibir sang peniup menambah kesan feminin. Formasi bibir peniup flute terlihat seperti bibir sedang tersenyum. Apalagi tidak ada sesuatupun yang perlu di emut dan mengganjal mulut seperti ketika meniup saxophone. Posisi senyum senantiasa itulah yang membuatnya nampak manis, seakan mempersilahkan pipit untuk lebih lama tinggal dalam lesungnya di pipi sang dara.

Apakah gara-gara itu flute lantas banyak diminati wanita? Entahlah. Yang pasti nama-nama pemain flute yang bergender wanita bertebaran di seantero dunia. Diantara mereka ada: Lisa Beznosiuk, Sharon Bezaly, Stefanie Bieber, Helen Bledsoe, Patrice Bocquillon, Andrea Brachfeld, Barbara Brown, Jane Bunnett, Brigitte Buxtorf, Maria Canales, Lucy Cartledge, Kathleen Chastain, dan Ann Cherry. Namun tak sedikit pula pria yang senang meniupnya. Pria peniup flute berkelas dunia itu misalnya Andreas Adorjan, Robert Aitken, David Amram, Yossi Arnheim, Peter Bacchus, Edward Beckett, dan Sebastian Be.

SERING BERGANTI NADA

Flute memang telah mendunia dengan nama dan bentuk yang berbeda. Di Jawa dikenal sebagai suling. Di daerah lain disebut foi, sarunai, saluang, taratoit dan banyak lagi sebutan lainnya. Di China disebut Dizi, di Vietnam Ding Tac Ta, di Venezuela Muhusenoi.

Piranti sumber bunyi flute ada yang berupa lubang, ada pula yang serupa sempritan atau peluit. Ada yang ditiup dalam posisi vertikal, diagonal. ataupun horizontal, sejajar kumis kita. Bahkan ada yang ditiup menggunakan hidung seperti alat musik selingut, bukan sel-ingus, dari Serawak, Malaysia. Bahannya juga macam-macam. Ada yang dibuat dari tulang, tanduk, kayu atau bambu. Material kayu seperti grenadilla, ebony, ataupun rosewood, sering digunakan di masa lalu. Dari sinilah alat musik tiup itu memperoleh posisi dalam kelompoknya sebagai alat musik tiup kayu atau woodwind, satu grup dengan saxophone, clarinet, oboe dan fagot.

Seiring jaman sulingpun berkembang. Berkembang pesat terutama di negara Eropa, seperti Jerman, Perancis, Inggris dan sekitarnya. Baik model, bahan, jumlah lubang maupun diameternya, sistim penjarian dan lain-lain kini telah menjadi sempurna. Bahan kayu telah diganti metal. Gonta-ganti nada bukan lagi hambatan. Tampangnya kini sungguh keren.

Suling moderen tersebut biasa kita sebut Flute, mengadopsi kata Flare dari bahasa Yunani atau to flow dalam bahasa Inggris, Sosoknya terbagi dalam 3 bagian yaitu kepala, badan dan kaki. Tentu saja tanpa lengan. Keadaan fisiknya tidak layu dan lemas tapi lurus dan kaku mirip pipa pralon. Panjang sekitar 67 cm. Diameternya tidak sebesar mulut kita, tapi cuma selingkaran uang logam recehan, kira-kira 2 cm. Bobotnya ringan antara 400 sampai 600 gram. Dibuat dari bahan metal, kuningan, perak, tembaga, emas, platina atau campurannya. Puncak kepalanya buntu, tersumbat, sementara ujung lainnya bolong plong.

Di sisi kepala terdapat satu lubang, yaitu lubang tiupan. Bentuknya tidak bulat tapi sedikit oval. Di bagian badan serta kaki penuh lubang pengatur nada serta pernak-pernik lain seperti pilar, tombol, per, roller, klep dsb. Aneka komponen itu melekat di sana lantaran dipatri dan disekrup atau bisa juga sekedar nyelip.

Selain flute consert yang berukuran normal, terdapat pula flute ukuran mini yang disebut piccolo. Flute bongsor bernada rendah juga ada, disebut flute alto atau flute bas. Saking panjangnya, bagian lehernya perlu ditekuk supaya tidak klowor-klowor kepanjangan.

SULING BAMBU MASIH MERDU

Siapa sangka benda serupa suling dangdut yang biasa dipakai mengiringi Inul bergoyang ngebor itu ternyata sudah ada sejak jaman dulu. Seserpih suling terbuat dari tulang Mammoth ataupun Beruang telah ditemukan oleh para arkeolog di berbagai daerah seperti Slovenia dan Jerman. Ditaksir usianya mencapai puluhan ribu hingga ratusan ribu tahun. Ternyata masyarakat purba, manusia purba Neanderthal, sudah mengenal dan menyukainya. Mereka biasa ngamen, dari gua ke gua, bergaya dan berdendang dengan alat musik itu.

Sebelum sampai pada tampilannya seperti sekarang, flute telah melalui berbagai tahap perubahan. Diawali oleh Jacques Hotteterre (1680-1761) yang berhasil menambahkan satu lubang sebagai nada d#. Dengan itu, lubang nada yang semula cuma 6 kini bertambah satu menjadi 7. Dia juga menulis buku pada tahun 1707, berjudul 'Les Principles de la Flute Traversiere'.

Di era berikutnya para kreator melanjutkan upaya penambahan satu demi satu lubang kunci nada baru. Tambah 1, 4, 5, hingga 9 lubang atau lebih. Namun menggali lubang tanpa diikuti oleh perbaikan mekanisme pengaturannya hasilnya malah bikin pusing, malah bikin alat jadi sulit ditangani. Kerepotan seperti itu berlangsung cukup lama, hingga muncul kemudian seorang tokoh pembaharu kelahiran Munich bernama Theobald Boehm (1794-1881). Boehm membuat perubahan radikal. Ukuran lubang-lubang dibuatnya lebih besar, posisinya diatur kembali dan mekanisme tombol diperbaiki. Benda yang merepotkan itu disulapnya menjadi alat musik yang mengenakkan.

Tahun 1832 Boehm menyempurnakan tehnik pengaturan jari untuk mengatur nada dikenal dengan istilah Boehm System. Dan pada tahun 1847 dilansirnya satu disain flute, bukan dari kayu tapi dari perak dengan 15 lubang nada serta 23 tombol pengatur. Flute metal itu disempurnakan lagi pada tahun 1878. Batang yang semula kerucut diubahnya menjadi silindris (silinder sama rata).

Flute metal silindris yang dikembangkannya segera menjadi acuan bagi hampir semua model flute di masa itu dan di kemudian hari. Tidak hanya itu saja, sistim Boehm telah diadopsi pula oleh alat musik tiup lain seperti clarinet, oboe serta saxophone. Dengan mekanisme Boehm maka clarinet besar, oboe besar serta saxophone besar dapat diproduksi.

Orang tidak lagi terikat pada keberadaan lubang nada yang hanya sekecil ujung jari, tapi sudah bebas membuat lubang yang sebesar-besarnya. Lubang-lubang nada yang besar itu kemudian ditutup dengan klep dan katup. Katup kemudian dihubungkan dengan gagang sehingga dapat dikendalikan dari jarak jauh.

Hak paten untuk flute metal tersebut didaftarkan pada tahun 1847 di Perancis dan Inggris. Perusahaan Godfroy & Lor di Paris serta Rudall & Rose di London memperoleh lisensi. Pabrik-pabrik lain segera bermunculan di Perancis. Mereka melakukan beberapa modifikasi kecil terhadap desain Boehm. Nama Louis Lot, merupakan salah satu pabrik pembuat flute metal di Perancis yang cukup populer, disamping nama lain seperti Auguste Bonneville, Claude Rive, Louis Léon Joseph Lebret serta J. Daufresne.

Sementara di London, perusahaan Rudall & Rose, yang kemudian dikenal dengan nama Rudall, Carte & co, sukses membuat flute berdasarkan desain Boehm yang dikombinasikan dengan rancangan disainer lokal setempat. Desain kombinasi Carte dan Boehm tersebut didaftarkan hak patennya pada tahun 1867.

Di Amerika flute Boehm tidak dipatenkan. Pada tahun 1880 William S. Haynes membangun pabrik dan mulai memproduksi flute, mencontoh flute metal buatan Boehm. Banyak pengusaha lain yang kemudian meniru langkah tersebut, ikut mendirikan industri di Boston, dan Elkhart.

Dengan hadirnya flute metal buah cipta Boehm tidak berarti suling sederhana, seperti suling kayu ataupun bambu lalu ditinggalkan. Musik tradisional Irlandia masih menggunakan suling kayu. Begitu juga di Asia. Di Indonesia, kita masih dapat menikmatinya di berbagai kesenian musik daerah. Suling-suling tradisional itu, meskipun terbuat dari bambu bukan berarti suaranya tidak merdu. Suling bambu itu tetap bersuara merdu dan mendayu. Simak saja lagu-lagu dangdut yang dinyanyikan oleh sang ratu dangdut Elvie Sukaesih. Kita suka lagu itu selain karena Elvie membawakannya dengan genit, menyanyi sambil matanya kedip-kedip, juga karena alunan suara sulingnya terdengar…, gimana gitu. Dibanding yang moderen, suling bambu memang memiliki banyak kekurangan. Keawetan material bambu sangat diragukan. Akurasi nada susah didapatkan, artinya not bisa melenceng kesana-kemari. Jari terpaksa harus dimanipulasi supaya diperoleh nada yang tepat. Jumlah lubang nada sangat terbatas, kurang luwes menghadapi pergeseran dasar nada. Nada dasar berganti, sulingpun harus diganti. Sehingga kita tidak heran lagi ketika melihat seorang pemain suling ndangdut sibuk memilih suling dari dalam tas kreseknya.

Kelemahan suling bambu dapat kita maklumi, karena kebanyakan mereka dibuat hanya dengan ilmu kira-kira, bukan matematika. Begitupun kita sudah bisa bersenang-senang dengannya, memainkan atau sekedar mendengarkan, bergaya dan berjoget persis seperti Neanderthal tempo dulu.Betul?

LEBIH DARI TIGA OKTAF

Sumber bunyi flute berada di bagian tak jauh dari puncak kepala. Di situ terdapat lubang tiupan kira-kira selebar ujung jari. Suara diproduksi ketika dalam posisi melintang lubang itu kita tiup. Udara kita tiupkan masuk kedalam tabung, mengalir dan membentur sepanjang dinding tabung yang berfungsi sebagai resonator. Keras lembutnya hembusan akan menghasilkan frekuensi nada yang berbeda-beda, tinggi atau rendah.

Tangga nada dapat dihasilkan selain karena variasi kekuatan hembusan juga karena terbuka atau tertutupnya lubang pengatur nada. Jari tangan kanan dan kiri bertugas mengurusi pembukaan dan penutupan lubang itu dengan memencet-mencet tombol yang tersedia. Lubang nada serta tombol pengendali itu berada di bagian tubuh serta kaki flute. Di situ terdapat 16 atau 17 lubang, dimana 11 diantaranya dapat ditutup oleh 4 jari tangan kanan dan 3 jari tangan kiri dan satu lubang ditutup oleh jempol tangan kiri. Empat lubang lainnya dapat dibuka tutup melalui gagang-gagang tombol.

Nada flute umumnya dimulai dari nada do, di, re, ri ,mi, fa, fi, sol, sel, la, li, si dan do, terus melengking menuju ke oktaf berikutnya hingga mencapai 3 oktaf lebih. Dengan jangkauan wilayah nada yang sedemikan banyak serta adanya fasilitas untuk nada-nada kromatik, maka flute dapat melayani berbagai nada dasar. Dia mampu mengiringi penyanyi bersuara berat maupun penyanyi bersuara melengking. Mampu bermain di nada dasar D ataupun G dan sebagainya. Bengawaaaan Solooooo….

YUK, NYULING

Meniup botol, meniup suling atau meniup flute caranya kira-kira sama. Bibir kita posisikan menempel di pinggir lubang tiupan. Formasi bibir kita bentuk, bukan seperti orang sedang manyun tapi layaknya kita tersenyum. Dari celah bibir yang kini telah merapat ketat itu, udara kita tiupkan tepat kedalam lubang. Begitu teorinya. Kita bisa praktek dengan mencoba meniup mulut botol kosong, sampai tol kosong itu berbunyi nyaring.

Mula-mula tentu ngos-ngosan dan kepala terasa pening. Itu lantaran kekurangan oxygen. Nyebul penuh semangat boleh saja, tapi jangan lupa untuk bernapas. Dalam urusan tiup meniup ini pengaturan napas menjadi hal yang penting. Kontrol pernapasan yang baik nantinya akan menghasilkan kualitas tiupan yang baik pula. Terus terang ini memang tidak gampang. Coba lagi tiup botol itu. Lakukan dengan lebih santai, lakukan seperti ketika kita sedang hepi, bersiul sembari mandi pagi.

Untuk soal bersiul, tersenyum ataupun nyebul, sapi manapun boleh ngiri sama kita. Kita bisa melakukan, sementara dia tidak. Sapi pengin pamer senyuman misalnya, hasilnya malah Cuma klamut-klamut menggelikan. Pengin nyebul, hasilnya juga cuma klamut-klamut. Biarkan saja sapi merenungi nasibnya. Kita mah, maju terus. Sukses meniup botol, kita bisa melanjutkan dengan meniup suling beneran. Suling bambu seharga cemban juga sudah cukup. Tutup ke enam lubang yang ada dengan jari tangan kanan dan kiri. Jempol serta kelingking untuk sementara non aktif. Tangan kanan mengurusi lubang bawah, tangan kiri lubang atas. Dalam posisi melintang suling kita tiup melalui lubang tiupan yang berada sendirian di bagian sisi kepala. Tiup dan tiup dalam keadaan semua lubang nada tertutup ujung jari. Kalau berhasil bunyi, suling itu akan bernada re. Nada selanjutnya kita dapatkan dengan membuka jari mulai dari bawah. Kita buka satu jari, nada menjadi mi. Buka satu jari lagi menghasilkan nada fa, demikian seterusnya.

Guna memperoleh ketepatan nada, mungkin jari perlu kita kreatifkan. Misalnya, lubang kita buka hanya setengah saja, atau jari tengah terbuka sementara jari lain tetap menutup sebagainya. Ya itulah keterbatasan suling sederhana, kita perlu banyak mikir. Cara serupa dapat kita gunakan untuk memainkan suling moderen. Pada suling moderen semua dipermudah. Kita tidak perlu menutup lubang dengan jari, tapi cukup menekan tombol-tombol klepnya saja. Penempatan lubang nada sudah sangat tepat sehingga tidak ada lagi istilah fales. Fasilitas untuk semua nada kromatik telah disediakan. Kita tinggal mengaktifkan jempol serta kelingking guna mengoperasikannya.

Meskipun suling sederhana telah berubah jadi flute moderen, bambu dan kayu telah berganti metal, namun tehnik membunyikannya masih tetap sama. Jejak purbakala ternyata tidak dapat dihapus dan tetap melekat erat pada suling itu dari masa ke masa. Semua benda itu baik yang purba maupun yang kontemporer harus ditiup pas di lubangnya agar bersuara. Harus pas di lubang sasaran, tidak boleh meleset.

Instrumen tersebut, selama klepnya bisa menutup lubang nada dengan rapat, dan per nya masih ngeper, dapat dipastikan masih berfungsi normal, tidak peduli bodynya sudah tua dan butut. Klep serta per dapat diremajakan sehingga dapat berfungsi seperti baru lagi.

Barunya, harga flute ditoko cukup mahal. Tapi kita bisa mendapatkannya di bursa second hand dengan harga paling pol separonya saja. Meskipun barang second namun kualitasnya dijamin prima karena mereka telah direkondisi. Di Jakarta, bursa alat musik tiup ada di daerah Pasar Rebo, di 021-8411717 Di sana kita akan diajari gratis sampai bisa. Wow!

Nyuling, yuk!

Penulis:
Anton Prihardianto

Vokalis

Buffet Crampon S1 Alto Sax




Main Saxophone..., amboi rasanya!


Ngesax, nyaxophone atau main saxophone, katanya sih mengasyikkan. Itu pancen ho’o! Lha wong baru dengar suaranya saja kita sudah senang, apalagi kalau bisa memainkan…, wow! Dan bagi yang keranjingan, seminggu tidak ngesax, rasanya setengah mati, persis orang ketagihan extasi.
---------------------------------------

Tahun-tahun berlalu, aneka panggung sudah dijajal. Mulai dari panggung hiburan di kampung hingga panggung hiburan di gedung. Dari acara kebaktian hingga acara hura-hura. Dari kemeriahan pentas ndangdut hingga di sepinya bilik rekaman. Dari acara wedding party yang selalu on time hingga acara TV yang no time. Dari mengiringi acara ibu-ibu arisan hingga mengiringi artis-artis kondang. Dan beraneka panggung tersebut ternyata memiliki rasa yang beraneka pula, di antaranya ketika:

Main bareng organ tunggal mengiringi ibu-ibu arisan.
Hampir semua ibu-ibu peserta arisan suka menyanyi. Mereka berebut giliran untuk tampil. Biasanya saxophone merangkap fungsi sebagai pemandu kapan lagu harus dimulai, atau mengingatkan melodi lanjutan yang mungkin agak terlupakan. Wow! Senang rasanya melihat keriangan di wajah para ibu itu.

Main bareng grup ndangdut di pelosok.
Justru di pelosok, para penyanyi ndangdut tampil gila-gilaan. Persisnya bikin kita tergila-gila. Mereka menyanyi sambil bergoyang seronok. Kita berada di dekatnya. Giliran harusnya nyebul, kita malah keasyikan nonton. Walah! Begitu acara selesai, seluruh pemain kembali ke pondokan. Pemandangan menjadi bertolak belakang. Si seronok tadi salin rupa menjadi emak-emak berdaster dengan wajah bertambal masker.

Main mengiringi artis kondang
Artis cantik bisa kita lirik-lirik. Kadang kita gandeng tangannya untuk membantunya naik-turun panggung. Dibalik panggung kadang kita malah dimintai tolong memasang kancing bajunya yang terbuka. Lontoooong…, e, tolooong !

Main di acara kebaktian.
Aneh tapi nyata. Meskipun lagunya belum kita kenal, namun jari ini seakan ada yang menggerakkan sehingga dapat menyelesaikan lagu itu dengan benar, bahkan ketika harus memainkan melodi pembukaannya. Amin.

Main di restoran.
Para tamu sibuk makan sambil ngobrol, kadang sambil tertawa cekikikan. Kita bermain di pojok ruangan. Bermain begitu saja, entah didengarkan entah tidak. Yang terang mereka kenyang duluan, kita nyusul belakangan.

Main di acara pesta
Di acara pesta dapat dipastikan kita bakal dijamu layaknya orang penting. Kalau acara itu di hotel, kamar ganti pasti disediakan dan segala keperluan diperhatikan. Sudah begitu dibayar mahal pula. Wow, enak tenaaaan !!!

Main mengisi acara TV
Jadwal shootingnya bisa molor ndak karuan. Buang-buang waktu!

Main mengisi rekaman suara.
Rasanya aneh, main di bilik tertutup, sendirian dengan headphone menempel dikuping. Kelewat dingin dan sepi.

Main di hotel.
Biasanya membawakan lagu seperti Fly Me To The Moon, The Girl From Ipanema, The Last Walts, La Paloma dan sebagainya. Main tiga hingga empat sesi. Tiap sesi rata-rata sembilan lagu. Satu group bertiga, ada piano, bas betot dan saxophone. Lagu terakhir..., Mabuk Lagi-Mabuk Lagi.

Seperti sudah dinyana, main saxophone memang asyik, membuat kita sumringah senantiasa. Wis jan, saxophone pancen enak...

Anton & Tina Sax
We love saxophone, the way they look and the way they sound.

Wednesday, September 17, 2008

Saxophone..., akibat pergaulan bebas

Lurs, kalau kita perhatikan sosok saxophone, beraneka bagiannya nyaris serupa dengan bagian yang dimiliki saudara-saudaranya. Contohnya:
- Body saxophone terbuat dari kuningan, serupa dengan bahan pembuat trumpet.
- Rongga body saxophone berbentuk kerucut, serupa dengan rongga body alat musik tiup oboe.
- Piranti sumber suara (mouthpiece & reed) saxophone sama dengan piranti tiup model single reed yang digunakan oleh clarinet.
-Tombol pengatur nada saxophone, serupa dengan mekanisme tombol pengatur nada yang ada pada alat musik flute.

Ya, saxophone, yang termuda di antara alat musik tiup lain itu rupanya lahir akibat "pergaulan bebas". Hampir semua saudara ikut "urun" memberi andil.
Wis jan, saxophone pancen enak...

Salam dahsyat.

Anton Pri/Tina Sax
(We love saxophones, the way they look and the way they sound).

Tuesday, September 16, 2008

Koleksi saxophone..., ngapa tidak?




Saxophone tidak sama dengan jimat taring macan, intan berlian, guci antik ataupun mobil Jaguar. Dia lebih dari itu. Mengapa? Jalarannya saxophone itu bukan hanya artistik, unik dan antik, tapi juga merupakan alat musik yang bisa bikin kita pintar (memainkan), terhibur dan bisa juga menghibur. Lagi pula cukup ringkas, tidak makan tempat dan irit tidak makan listrik.

Sejarah penemuannya pun istimewa. Saxophone ini merupakan jawaban atas persoalan "alat musik tiup ukuran besar" yang sempat membuat orang frustasi berabad-abad lamanya. Jenisnya ada banyak, bahkan paling banyak di antara alat musik tiup lain. Uniknya, meskipun beragam jenis/ukuran, namun cara memainkannya sami mawon, sama saja. Satu bisa, semua pun pasti bisa. Dan yang penting, meski setua dan seantik apapun, saxophone ini bebas dari hantu. Lho? Lha hiya lah, jin dan peri males tinggal di benda itu. Kelewat berisik..., mereka malah takut..., takut budek! Gitu.
Wis jan, saxophone pancen enak...

Salam dahsyat.

Anton Pri/Tina Sax
(We love saxophones, the way they look and the way they sound)

Dari hobi jadi...

Punya tenor doang rasanya kagak cukup kalau belum punya alto. Ntar pasti, sudah punya tenor dan alto, pengin lagi sopran, bariton dll.

Abis gimana, baru ngliat bendanya saja sudah seneng, apalagi kalau bisa memainkannya. Wiiihhh..., pasti deh girang gembira senang en riang ria. Dan siapa suruh, saxophone dibuat bermacam jenis. Bikin kita nafsu aje.... (he he...).

Begitulah, tanpa terasa satu - - dua - tiga - lalu banyak saxophone terkumpul. Soal bagaimana cara mengumpulkannya, ini mah ... rahasia.'

Ya, ternyata dari hobi bisa berkembang menjadi sesuatu yang sangat menggairahkan. Dari sekedar pengin bisa bermain saxophone, berkembang menjadi ingin mengkoleksinya. Dari mengkoleksi, berkembang jadi ingin mempopulerkan dan memasyarakatkannya, membantu mewujudkan impian ribuan "bocah" yang mungkin saja pernah berdiri terpaku dan terpukau di depan panggung hiburan di tengah keramaian pasar malam sekatenan....

Wis jan, saxophone pancen enak...

Salam dahsyat.

Anton Pri/Tina sax
(We love saxophones, the way they look and the way they sound).

Mouthpiece..., muten please!



Seperti mimi lan mintuno, begitulah mouthpiece dan reed. Saxophone berbunyi hanya jika mouthpiece ditiup (bukan sekedar diemut!). Mouthpiece ini ceper, mirip paruh bebek cerewet, si Donal. Bahannya bisa kayu, metal, atau ebonit. Sedang reed terbuat dari bahan semacam alang-alang (?) yang diiris tipis, ditempelkan di sisi bawah mouthpiece dan diikat kencang dengan ligature. Besar kecil mouthpiece mengikuti ukuran saxophone. Jika kecil, kita masih bisa meniupnya di sudut bibir sehingga masih bisa bersaxophone sembari nyengir. Kalau saxophonenya gede, mouthpiecenya bisa segemuk pisang ambon. Ampun deh!

Wis jan, saxophone pancen enak...

Salam dahsyat.

Anton Pri/Tina Sax
(We love saxophone, the way they look and the way they sound).

Seputar Sosok Saxophone

Lurs, supaya tidak kebingungan dengan istilah di seputar saxophone, ada baiknya kita telanjangi dulu bodi saxophone yang sexy itu. Bentuk tabungnya tidak silindris tapi mengerucut mirip belalai gajah. Ukurannya mulai setengah meter sampai bermeter-meter. Berhubung ada yang berukuran besar, supaya enak dipakainya dan tidak klowor-klowor kedodoran, maka perlu diringkas. Bagian ujung dan pangkalnya ditekuk sehingga hasilnya mirip model cangklong, pipa untuk merokok.

Di sekujur tubuhnya banyak "bopeng". Lha, kagak sexy lagi dong? Ya, apa mau dikata, sebab tanpa bopeng-bopeng itu saxophone tidak bisa bunyi do re mi. "Bopeng" yang berupa lubang menganga itu dipasangi tutup yang bisa dibuka-tutup. Tutup-tutup itu ada yang dirangkai sehingga dapat menutup lubang secara bersamaan.

Anatomi saxophone dapat disebut mulai dari atas: mouthpiece yang diemut sewaktu memainkannya, neck tempat memasang mouthpiece, main body tempat lubang-lubang alias tone hole berada, bow yang bentuknya murup huruf "U", serta bell yang ujungnya mencorong, kayak corong. Pada main body sebelum bow ada kait - terbuat dari plastik ataupun metal - tempat ngasonya jempol sehingga diberi nama thumbrest. Beberapa senti di atas thumbrest ada strip ring, tempat cantelan strap neck. Rib dan juga pillar terpatri di main body. Bagian-bagian lain lagi diantaranya adalah key rod, key pad, resonator, screw, cork dan masih banyak lagi.

Tapi kita tidak usah pusing dengan aneka nama itu, langsung saja mainkan saxophone kesayangan sambil bergaya..., Fly Me to The Moon..., dst, dsb, dll.
Wis jan, saxophone pancen enak...

Salam dahsyat.

Anton Pri/Tina Sax
(We love saxophone, the way they look and the way they sound).

Ukuran Vital

Berbeda dengan tuts piano yang dapat menjangkau banyak nada, mulai dari do paling rendah hingga do paling tinggi alias beroktaf-oktaf, saxophone hanya mampu menjelajah beberapa oktaf saja. Makanya, ia pun dibuat dalam berbagai ukuran demi menghasilkan nada selengkap piano. Jadilah saxophone ukuran S, M, L, XL, double X, dan bahkan triple X. Pokoknya, mirip ukuran baju deh. Namun, pembagiannya bukan seperti itu, lebih merujuk kepada jenis suaranya.

Wilayah nada tinggi diwakili saxophone mini, sedangkan untuk nada rendah menjadi urusan saxophone berukuran panjang dan besar. Total semua macam saxophone ada 14. Semuanya - kalau mau - dapat dimainkan bersama, ada yang kebagian suara sopran, alto, tenor, bariton, bas, maupun kontra bas.

Dari 14 macam itu, yang sering santer disebut adalah saxophone sopran, alto, dan tenor. Yang sopran bentuknya lurus seperti yang dipakai Kenny G. Sedangkan golongan alto bentuknya sedikit melengkung seperti huruf "J". Jenis ini biasa ditiup oleh Dave Koz. Di atasnya alto ada saxophone tenor dan biasa disebut saxophone jazz. Yang lebih besar lagi, saxophone bariton. Saking berat dan besarnya, bagian bow atau bell nya jadi sering rusak, penyok kepentok-pentok.

Wis jan, saxophone enak tenan...

Salam dahsyat.

Anton Pri/Tina Sax
(We love saxophone, the way they look and the way they sound).

Sax..., bukan saks, bukan seks.

Lurs, karena SAX itu adalah nama orang (Adolphe Sax, sang penemu saxophone), maka IMHO, saxophone tetap harus ditulis demikian. Sax harus tetap sax, bukan kemudian ditulis menjadi saks ataupun seks dsb.

Ya, kita tidak boleh sax-saxe dan sax karepe dewe.

Salam dahsyat.

Anton Pri/Tina Sax
(We love saxophone, the way they look and the way they sound).

Evolusi Lubang




Lurs, sebelum ada saxophone, alat musik tiup menghadapi kendala berat, yaitu bagaimana membuat alat musik tiup yang mampu bersuara rendah tapi mudah dimainkan. Memang sih, untuk memainkan nada rendah diperlukan sebuah alat yang besar dan panjang. Nah, persoalannya, jari dan jempol yang akan mengoperasikan alat itu langsing adanya, pendek dan tidak bisa melar seenaknya.

Ambil contoh suling bambu yang sering dipakai mengiringi lagu2 dangdut, Kucing Garong, Jablay dsb., itu. Bambu sekerat berlubang enam itu bisa tulat tulit memainkan nada karena lubang kecilnya dibuka dan ditutup pakai jari. Karena letak lubang berdekatan, jari2 kita pun dengan lincah bisa menari-nari di atasnya sambil menghasilkan tangga nada.

Sayangnya, karena keterbatasan, setiap nada dasar berganti, suling pun juga harus diganti. Tak hanya suling, tapi juga clarinet, oboe, bassoon, dsb., merupakan alat musik tiup jaman baheula yang masih berorientasi pada lubang yang sekedarnya. Sekedar ada lubang.

Lantaran berkutat hanya di lubang sempit, problem bagaimana membuat lubang besar tidak terpikirkan. Paling-paling kalau ingin bikin alat yang agak besar, alat itu kemudian dilengkungkan seperti busur sehingga tetap dapat diraih oleh tangan. Pengin yang lebih besar lagi, sudah tak berdaya, sudah apa daya tangan tak sampai.

Ada sih sedikit kemajuan, dengan ditambahkannya lubang serta tangkai-tangkai untuk membuka dan menutup lubang yang berada diluar jangkauan jari. Satu tangkai disiapkan untuk satu lubang tambahan itu. Jempol serta kelingking dilibatkan untuk menanganinya. Nada yang dihasilkan memang bertambah banyak, namun lubang sempit itu masih saja tak terpikirkan untuk dibesarkan.

Sampai suatu saat ketika suling salin rupa menjadi flute. Seseorang telah membuat lubang berjejer dan berjumlah banyak. Lubang itu besar, sampai besarnya jari tidak dapat menutupinya sehingga diperlukan tutup khusus. Nah, kini ujung jari tinggal menekan tutup ini sehingga lubang pun tertutup. Dibuat pula sistem rangkaian yang memungkinkan dua atau tiga tutup bisa menutup sekaligus dengan hanya menekan satu tutup. Sebuah awal yang bagus, meski belum ada juga yang mencoba membesarkan ukuran alat musik tiup itu.

Akhirnya, Adolphe Sax dari Belgia mengatasi kebuntuan itu. Dia membuat alat musik tiup yang gede segede-gedenya, dari bahan kuningan. Alat itu dipatenkan dan diproduksi massal tahun 1846. Julukannya pun diambil dari nama dirinya: SAX-O-PHONE.

Anton Pri/Tina Sax
Sax Mania

Monday, September 15, 2008

Sax & nge-Sax pertama


Saxophone tenor itu seperti sedang tidur di dalam kopernya. Tubuhnya besar, melingkar, persis ular phyton kekenyangan. Deg deg an hati ini kala pertama melihatnya.

Mata ini tak jemu-jemunya memandang. Makin dipandang, e.., makin mempesona. Pucuknya sedikit melengkung, bodynya melurus, lalu melengkung lagi. Bonggolnya melebar seperti bunga sedang mekar. Batangnya dipenuhi pilar dan lubang. Ada juga semacam sulur yang menjulur-julur. Di rongganya terlihat ada bekas sarang laba-laba, juga ada bekas telur cicak, pertanda benda itu lama tak disentuh dan tak diurus. Ah..., kacian!

Sejak punya, saban hari latihan, towat towet towet towet tak henti2. Pas sebulan sudah agak lancar. Meniup tidak lagi ngos-ngosan, do re mi juga sudah paham. Lagu Putri Solo bisa didendangkan, lagu Monalisa pun..., lancir. Malah kemudian berani nekat ikut naik pentas mengiringi penyanyi kondang Emilia Contesa, melantunkan lagu berjudul Bunga Flamboyan. "Senja itu..., sang dara...., keguguran...dst" Keliru dikit memang, tapi gak apa2. Namanya juga baru pemula, baru pertama nge-Sax.
Peristiwa itu terjadi pas acara natalan di kantor, sekian tahun (puluh) silam.

Wis jan, saxophone pancen enak...

Salam dahsyat.

Anton Pri/Tina Sax
(We love saxophone, the way they look and the way they sound).

Mula - Awal




AWAL TERPIKAT.
Bocah lanang kelas 6 SD itu berdiri di depan panggung hiburan di keramaian pasar malam Sekatenan. Matanya nyaris tak berkedip, tertuju pada sebuah benda mengkilat yang sedang ditiup oleh seorang anggota pemain band (Albert Sumlang?). Bukan lagu ataupun si peniup yang menarik perhatiannya, tapi alatnya itu lho. Wiiih..., ciamik tenan. Dan sejak saat itu si bocahpun bermimpi....

Dua puluh tahun berlalu, barulah terwujud impian si bocah untuk punya dan memainkan alat musik yang persis kayak cangklong itu.
Ya ya ya....

AWAL PERBURUAN
Mencarinya tidak mudah. Banyak cerita suka dan duka di baliknya. Hampir seluruh toko musik seantero Jakarta disambangi. Tidak disemua toko ada. Hanya beberapa saja yang sedia. Salah satunya sebuah toko musik di sebelah terminal Kampungmelayu.

Di etalasenya jelas terpajang sebuah benda berkilau, berkesan wah.., mewah. Warnanya kuning bukan sembarangan tapi kuning keemasan. Keadaanya masih baru gres, kinyis-kinyis. Tapi sayang seribu sayang, harganya tinggi selangit. Lagipula jangankan dicoba, dipegangpun kagak boleh. Jangan! Ah..., hajinguk tenan. Sontoloyo!

Untunglah ada seorang kawan mengabarkan kalau pakdenya yang sudah berangkat jompo mau menjual alat musik miliknya. "Mending dilego, daripada cuma jadi teken" katanya.

Ee..., akhirnya dapet juga. Saxophone tenor itu kondisinya sudah tidak mulus, model tua, made in Amerika. Dan yang penting..., murah bro!

Wis jan, saxophone pancen enak...

Salam dahsyat.

Anton Pri/Tina Sax
(We love saxophone, the way they look and the way they sound).

Sexy, Jazzy, Sember dsb.

Aneka istilah dipakai untuk menggambarkan kayak apa sih suara saxophone itu. Di antaranya ada istilah: bright, dark, edgy, pretty, giant, sexy, jazzy, halus, lembut, tebal, tipis, sember etece. Tapi yang terang suara saxophone itu..., merdu!

Berbagai warna suara saxophone dipengaruhi oleh beberapa faktor, bisa oleh alatnya itu sendiri, oleh mouthpiece, oleh reed, oleh embouschure, bahkan bisa juga karena ruangan tempat dimana saxophone itu dimainkan.

Namun dari antara faktor yang berpengaruh itu ada bagian yang kita masih dapat kendalikan, yaitu pada mouthpiece serta reed. Dengan cara mengotak atik kombinasi antara keduanya, misalnya mp ceper digabung dengan reed tebal atau mp 1/2 ceper dengan reed 1/2 tebal dsb., bisa dihasilkan warna suara yang sedikit berbeda-beda.
Coba saja.

Wis tho, saxophone pancen enak...

Salam dahsyat

Anton Pri/Tina Sax
(We love saxophone, the way they look and the way they sound)

Cari Saxophone..., di mana?

Saxophone pancen keren, berkesan romantis, artistik dan eksklusif. Bener2 kita2 punya selera! Lagian nyaxophone ternyata tidak sesulit yang kita bayangkan. Ya nggak.., ya nggak...

Yang mungkin bisa bikin kita stres adalah mikirin dimana sih nyarinya? Dimana belinya? Barangnya susah banget didapat, harganya mahal, pak gurunya kagak ada, tukang servisnya kagak kenal, dan seribu satu macam susah2 lainnya. Wis tho, pokoknya sususu...sah deh!

Tapi dulur tak perlu bingun, sutris ataupun frustated, karena di Jakarta ada satu tempat yang spesial mengurusi saxophone dan sebangsanya, flute, clarinet, trumpet dan toet-toet lainnya. Pengin yang baru atau seken, semua ada. Harga miring, kondisi prima dan..., akan diajari gratis, sampai bisa!

Tempat ibu Tina yang berlokasi di belakang Rumah Sakit Pasar Rebo Jakarta Timur itu punya misi ingin mempopulerkan saxophone yang sexy itu ke segenap masyarakat. Penginnya sih mencetak 1000 penggemar dan pemain sexyphone (baca: saxophone) dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Dan pada gilirannya nanti membentuk klub penggemar saxophone, wadah dimana para sax mania bisa bersenang-senang, hepi-hepi, belajar dan bermain saxophone bersama, saling tukar pikiran dan pengalaman.
Wis jan, saxophone pancen enak...

Salam hangat,

Anton Pri/Tina Sax
(We love saxophone, the way they look and the way they sound)

SEMUA KEY..., HARUS OKEY!

Lurs (para sedulur), kata sang empu, membuat saxophone itu prosesnya kompleks lho, ada ratusan bagian dan perlu banyak tahapan. Ee..., ternyata bikin lebih sulit ketimbang mainin...
'
Bayangkan, untuk satu komponen yang punya julukan khas, seperti "key" misalnya, dapat terdiri dari beberapa bagian, hinge rod, cup arm, lever, spatula dan spring hook. Kesemuanya harus diukur, digambar, dibentuk, dipatri, dirakit, dipoles. Membuatnya harus benar, tidak boleh salah. Kalau keliru maka musti diulang dari awal lagi. Capek deeeh! Itu baru untuk sebuah key, belum key2 yang lainnya. Ya..., semua key musti en kudu okey.

Untuk tone hole pun perlu proses nan rumit. Diukur, dibentuk, dipatri delele. Itu baru untuk sebuah hole, belum hole2 yang lain. Ya... untuk sebuah hole juga musti en kudu..., hole-ley.

Lha kita ini khan ketiban enaknya tho. Tinggal nyebul, ngemut en hepi-hepi.
Wis jan, saxophone pancen enak...

Salam,

Anton Pri
(I love saxophone, the way they look and the way they sound)

Manggung...



Bayangkan, empat jam nge-sax (main sax) di panggung lobby dan bar hotel bintang lima. Main bertiga, bareng piano dan bas betot, tanpa penyanyi. Memang sih, main 4 jam tapi tidak nonstop. Ada istirahatnya 3 kali (total istirahat 1 jam).

Ada sekitar 28-30 lagu biasa dibawakan. Setiap lagu dimainkan tiga kali putaran. Putaran pertama, setelah intro, saxophone melantunkan keseluruhan bait lagu, dilanjut oleh piano, mengulang bait satu & dua. Pas refrain saxophone kembali beraksi, diteruskan piano di bait berikutnya. Putaran ke tiga, saxophone menyanyikan bait satu dan dua, refrain oleh piano, ditutup kemudian oleh piano & saxophone bersama-sama. Atau bisa juga dilakukan sebaliknya, piano memainkan seluruh lagu baru kemudian saxophone dst. Lha si pengebas (pemain bass) bertugas menjaga irama dan tempo.

Poro dulur tentu kenal dengan suara saxophone jenis tenor yang gedem, rada ngebas, dalam, berat dan mendesah. Ya itulah sax yang saya tiup..., sax tenor!
Dengan bodynya yang semok serta corongnya yang mengacung, benda itu membuat rasa makin macho aja. Belum lagi style kala kita meniup, bibir nglamut, jemari kiri mencet tombol atas, jari kanan nggrayangin body bawah, wah rasanya seperti lagi meluk sri dinda. Sehingga selesai berlagu, sering saya mengalami rasa kayak..., orgasme! Padahal ada sekian banyak lagu dimainkan, jadinya sekian banyak kali pula orgasmenya. He he... (Tapi ini jenis "I am coming" yang kagak pakai ah uh ah uh lho...).

Dan inilah persembahan beberapa lagu, spesial untuk poro dulur.
Sesi I lagu:
The shadow of your smile, if, smoke get o y e, are you lonesome t n, felling, yesterday, over the rainbow.

Sesi II lagu:
What a wonderful t n, the girl f ipanema, the bridge o t water, the last waltz, love letter i t s, the way we were, misty.

Sesi III
Memory, st on the shore, stranger i t night, vision, and i love u so, the autumn l, la paloma.

Sesi terakhir
Something, the end of t w, besame mucho, he'll have to go, killing me softly, this masquerade, vaya condios.

Silahkan menikmati sembari ngunjuk kopi, tequilla delele.
Wis jan, saxophone pancen enak...
Salam,

Anton Pri
(I love saxophone, the way they look and the way they sound)