Lokasi Pengunjung Blog
Wednesday, December 30, 2009
GUS DUR, dalam kenangan
Meski Gus Dur kini tiada namun guyonannya masih lekat dikepala. Ini salah satunya:
TAKUT ISTRI
Memberikan contoh dengan lelucon adalah kebiasaan Gus Dur ketika berpidato. Tujuannya, kata kyai ini agar hadirin dapat memahami maksud dari apa yang disampaikan.
Dalam sebuah forum yang membahas soal kesetaraan laki-laki dan perempuan, seorang peserta bertanya kepada kyai eksentrik ini, yang isinya mungkin agak “pribadi.”
Peserta itu bertanya, apakah Kyai sebesar Gus Dur juga takut pada istri? Mendengar pertanyaan yang “sensistif” itu Gus Dur menjelaskan dengan “bijak” (jika tidak mau disebut berkelit.
“Begini ya….. Saya punya cerita,” kata Gus Dur memulai, sementara peserta sudah siap-siap dengan serius mendengarkan jawaban tentang “jeroan” rumah tangga Gus Dur.
“Nanti di akhirat, orang dibagi dua barisan,”
Gus Dur melanjutkan,”barisan pertama untuk orang-orang yang takut sama istrinya. Barisan kedua untuk yang berani sama istrinya.”
Peserta seminar yang tadinya serius, langsung dapat menerka ini pasti guyonan.
“Di barisan pertama orang antri berduyun-duyun. Ternyata di barisan kedua cuma ada satu orang, badanya kecil lagi. Orang-orang di barisan pertama heran melihat si kecil itu sendirian. Mereka pikir berani sekali tuh orang. Lalu dikirimlah delegasi dari barisan pertama untuk menanyakan. Datanglah delegasi itu pada si kecil dan bertanya, “hey kamu kok berani banget baris sendirian disini, emangnya kamu nggak takut sama istri kamu?”
Mendengar pertanyaan itu, si kecil menjawab “Wah…. saya juga nggak tahu nih. Saya disini disuruh istri saya.”
"Ha ha ha...", kontan seluruh peserta terbahak.
Selamat Jalan Gus Dur...
TAKUT ISTRI
Memberikan contoh dengan lelucon adalah kebiasaan Gus Dur ketika berpidato. Tujuannya, kata kyai ini agar hadirin dapat memahami maksud dari apa yang disampaikan.
Dalam sebuah forum yang membahas soal kesetaraan laki-laki dan perempuan, seorang peserta bertanya kepada kyai eksentrik ini, yang isinya mungkin agak “pribadi.”
Peserta itu bertanya, apakah Kyai sebesar Gus Dur juga takut pada istri? Mendengar pertanyaan yang “sensistif” itu Gus Dur menjelaskan dengan “bijak” (jika tidak mau disebut berkelit.
“Begini ya….. Saya punya cerita,” kata Gus Dur memulai, sementara peserta sudah siap-siap dengan serius mendengarkan jawaban tentang “jeroan” rumah tangga Gus Dur.
“Nanti di akhirat, orang dibagi dua barisan,”
Gus Dur melanjutkan,”barisan pertama untuk orang-orang yang takut sama istrinya. Barisan kedua untuk yang berani sama istrinya.”
Peserta seminar yang tadinya serius, langsung dapat menerka ini pasti guyonan.
“Di barisan pertama orang antri berduyun-duyun. Ternyata di barisan kedua cuma ada satu orang, badanya kecil lagi. Orang-orang di barisan pertama heran melihat si kecil itu sendirian. Mereka pikir berani sekali tuh orang. Lalu dikirimlah delegasi dari barisan pertama untuk menanyakan. Datanglah delegasi itu pada si kecil dan bertanya, “hey kamu kok berani banget baris sendirian disini, emangnya kamu nggak takut sama istri kamu?”
Mendengar pertanyaan itu, si kecil menjawab “Wah…. saya juga nggak tahu nih. Saya disini disuruh istri saya.”
"Ha ha ha...", kontan seluruh peserta terbahak.
Selamat Jalan Gus Dur...
Innallilahi wainnallillahi rojiun
Berita dari televisi, telah wafat Gus Dur, tadi pukul 18.45 WIB.
Tentang Gus Dur:
Nama : Abdurrahman “Addakhil”, demikian nama lengkapnya. Belakangan kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”.
Kelahiran : Putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri.
Istri : Sinta Nuriyah
Anak : Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.
Kehidupan : Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.
Hobi : Membaca, bermain bola, menonton bioskop, catur dan musik.
Pengalaman Pendidikan :
• Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar mengaji dan membaca al-Qur’an pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur’an.
• Disamping belajar formal di sekolah, Gus Dur juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gus Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.
• Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris.
• Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegalrejo Magelang Jawa Tengah.
• Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar.
• Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad sampai tahun 1970.
• Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya.
Perjalanan Karier :
• Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah.
• Pernah menjadi komentator sepak bola di televisi.
• Sepulang dari pengembaraanya mencari ilmu, Pada tahun 1971, Gus Dur kembali ke Jombang dan menjadi guru di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang.
• Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris.
• Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU.
• Karier yang dianggap ‘menyimpang’-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986 -1987.
• Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo.
• Ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999.
• Presiden Republik Indonesia masa bakti 1999 – 2001
Penghargaan :
• Tokoh 1990, Majalah Editor, tahun 1990
• Ramon Magsaysay Award for Community Leadership, Ramon Magsaysay Award Foundation, Philipina, tahun 1991
• Islamic Missionary Award from the Government of Egypt, tahun 1991
• Penghargaan Bina Ekatama, PKBI, tahun 1994
• Man Of The Year 1998, Majalah berita independent (REM), tahun 1998
• Honorary Degree in Public Administration and Policy Issues from the University of Twente, tahun 2000
• Gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, tahun 2000
• Doctor Honoris Causa dalam bidang Philosophy In Law dari Universitas Thammasat Thaprachan Bangkok, Thailand, Mei 2000
• Doctor Honoris Causa dari Universitas Paris I (Panthéon-Sorbonne) pada bidang ilmu hukum dan politik, ilmu ekonomi dan manajemen, dan ilmu humaniora, tahun 2000
• Penghargaan Kepemimpinan Global (The Global Leadership Award) dari Columbia University, September 2000
• Doctor Honoris Causa dari Asian Institute of Technology, Thailand, tahun 2000
• Ambassador for Peace, salah satu badan PBB, tahun 2001
• Doctor Honoris Causa dari Universitas Sokka, Jepang, tahun 2002
• Doctor Honoris Causa bidang hukum dari Konkuk University, Seoul Korea Selatan, 21 Maret 2003.
• Medals of Valor, sebuah penghargaan bagi personal yang gigih memperjuangkan pluralisme dan multikulturalisme, diberikan oleh Simon Wieshenthal Center (yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM dan toleransi antarumat beragama), New York, 5 Maret 2009.
• Penghargaan nama Abdurrahman Wahid sebagai salah satu jurusan studi Agama di Temple University, Philadelphi, 5 Maret 2009.
• Dll.
(Diolah : dari berbagai sumber…)
MAJALAH AKTUIL, riwayatmu dulu (Artikel selingan)
Dari milis rekan2 alumni SMA Kolese de Britto, saya mendapat cerita tentang Majalah Aktuil, sebuah Majalah Musik yang pernah berkibar di tahun 70 an. Kisah tentang majalah itu telah mengaduk aduk kenangan lama. Begitu komentar salah satu teman yang kala itu masih berusia belasan. Bahkan tidak sedikit teman yang mengkoleksi majalah itu, termasuk mengumpulkan poster2 yang diterbitkan olehnya. Nah, agar kenangan indah kita makin teraduk, perlu kiranya topik ini saya angkat di blog ini.
Judul cerita: Putus Dirundung Malang (Kisah sukses majalah Aktuil sebelum bermimikri jadi Editor), Oleh Agus Sopian.
ANGIN kering bulan Juni berembus di Jalan Lengkong Kecil, Bandung. Percetakan PT. Timbul yang menempati gedung nomor 57, bangunan eks kolonial Belanda berlantai dua, terasa sunyi. Di lantai satu, terlihat sebuah kamar kerja dengan perabotan tua yang menyita ruang. Hanya ada dua orang di situ: Maman Sagith, pemimpin kantor, dan Ina Herlina, satu-satunya tenaga administrasi. Areal percetakan, yang terletak di ekor bangunan, hanya berjarak beberapa langkah dari ruang mereka. Di mulut pintu, tampak mesin absen ketok produk 1970-an yang sudah tak digunakan.
Panas dan pengap. Dua kipas yang berfungsi membuang udara sudah pensiun. Sekurang-kurangnya ada dua meja dan empat meja kecil. Semuanya penuh cacat oleh goresan benda tajam dan lelehan tinta membatu. Di atas meja, kertas-kertas tak beraturan, mulai kertas folio, afvaal, sampai doorslag, berceceran di sana-sini. Di tengah ruangan teronggok satu unit mesin cetak buatan Italia, Nebiolo Invicta 36. Tahun 1970-an, ketika dunia pers dijangkiti demam offset, impian besar para pengusaha percetakan dan penerbitan di negeri ini disandarkan padanya.
Di seberangnya terdapat mesin potong Polar-Mohr Standar 90. Tak jauh darinya, ada sebuah bangunan aneh, terpencil di pojok ruangan sebelah kiri. Isi bangunan mirip saung petani di sawah ini tak lain dari meja exposer uzur untuk mengerjakan plate. Di atas meja, tampak deretan lampu neon, yang bingkainya sudah dipenuhi kembang debu.
Bergeser ke sayap kanan, dua letter press, mesin cetak yang masih menggunakan klise pelat timah, mengundang perhatian. Original Heidelberg, demikian jati diri sang mesin, di hari tuanya, masih sanggup mencetak sampul buku atau majalah sebanyak 1.500 lembar per jamnya.
Seorang pria dengan uban putih tumbuh merata di kepalanya bekerja di sana. Namanya Kuswari. Dia tak menoleh ketika saya tegur. Pada teguran ketiga, baru dia menoleh dan tersenyum. Sesekali dia mengambil kuas dan mengkilik-kilik mesin. Kali lain dia memindahkan hasil cetak ke meja di sebelahnya. Kuswari dan mesin itulah yang melahirkan jabang bayi sebuah majalah fenomenal 1970-an: Aktuil.
Pada masa jayanya, ruang redaksi Aktuil menempati lantai dua percetakan PT. Timbul. "Mari ke atas," ajak saya kepada Maman Sagith, layaknya tuan rumah kepada tamu. Saya menaiki tangga pendek. Ruangan redaksi benar-benar sudah berubah. Tak ada lagi meja tulis yang semrawut karena tumpukan kertas atau majalah-majalah luar negeri. Tak ada lagi Royal dan Remington, mesin tik berkelas pada 1970-an. Ruangan berlantai teraso kerang luks warna abu-abu coklat seluas 250 meter persegi, yang semula tanpa sekat itu, kini jadi bilik-bilik kecil. Ada empat bilik di sana: ruang tamu, kamar tidur, studio, dan kantor studio.
Di pojok sayap kanan saya membayangkan seorang pria gondrong, berkaos oblong, dan bercelana jins sedang mengetik dengan cepat, karena harus mengurusi hal-hal lain yang menunggu sentuhannya dari koordinasi reportase, menyunting naskah, membayar honor tulisan, mengecek mesin cetak, distribusi majalah, sampai memegang kunci kantor.
Pria yang saya bayangkan tak lain dari Maman Sagith, yang kini berdiri di samping saya. Penampilan eks manajer Dara Puspita, sebuah kelompok musik asal Surabaya yang terkenal pada 1970-an ini, seperti pria kebanyakan yang sedang menghadapi senja, dengan sejumput kenangan masa jaya yang tak jelas lagi buat apa.
Seperti juga Kuswari, Sagith adalah awak Aktuil. Sagith bekerja sejak 1967, tahun pertama Aktuil dihadirkan ke hadapan publik. "Tapi saya tidak termasuk pendiri Aktuil. Yang mendirikan Mas Toto," katanya. Mas Toto adalah Toto Rahardjo, sepupunya dari garis ibu, yang memiliki PT Timbul.
Aktuil memang lahir dari sebuah kesepakatan. Prakarsa bermula datang dari Denny Sabri Gandanegara, kontributor majalah Discorina, Yogyakarta. Putra pertama Sabri Gandanegara, wakil gubernur Jawa Barat periode 1966 - 1974 ini, tidak puas dengan majalah tempatnya berkarya yang hanya menyajikan profil pemusik dan chord lagu. Dia lalu bertemu Bob Avianto, seorang penulis lepas masalah-masalah perfilman. Dari obrolan ringan, mereka sampai pada perbincangan intens dan serius untuk membuat majalah hiburan.
Avianto menemui Toto Rahardjo, pemimpin kelompok musik dan tari Viatikara. Gayung bersambut. Rahardjo rupanya sudah lama mengidamkan sebuah media yang dapat memberikan panduan informasi, selain untuk mempublikasikan kegiatan-kegiatan seninya.
Di rumah Syamsudin - publik musik mengenalnya pemusik Sam Bimbo- mereka mencapai kata sepakat dan mengusulkan Aktuil sebagai nama majalah. "Ini bahasa Indonesia yang salah memang. Tapi, saat itu kami sedang gandrung-gandrungnya majalah Actueel," kata Denny Sabri Gandanegara. Actueel adalah majalah musik terbitan Belanda, yang masuk ke kota Bandung melalui jalur bursa media Cikapundung. "Nama Aktuil diusulkan untuk pertama kalinya oleh Avianto, sedang logonya dibuatkan Dedi Suardi," tambah Rahardjo.
Timbul persoalan bagaimana mereka mendapat tambahan biaya investasi, yang setelah dihitung ternyata memerlukan dana sekitar Rp 10 juta (kurs rupiah saat itu Rp 900 untuk US$1). Mereka kemudian mengajak Roy Sukanto dan Bernard Jujanto, keduanya anggota Viatikara.
Ramai-ramai menunjuk Toto Rahardjo sebagai pemimpin umum-cum-pemimpin redaksi,
mereka berencana meluncurkan edisi perdana pada Mei 1967. Namun, karena satu dan lain hal, terutama karena hampir sebagian besar dari mereka tidak memiliki latar jurnalistik, peluncuran nomor perdana molor. Ketika urusan redaksional teratasi, kerumitan lainnya muncul: mereka tak tahu tempat mendapatkan kertas. Selebihnya, percetakan milik keluarga Rahardjo ternyata memerlukan tambahan listrik. Puncak kesulitan, tak ada seorang pun di antara mereka yang tahu persis bagaimana mengerjakan separasi dan opmaak. Toh, akhirnya, satu per satu kesulitan mereka singkirkan. Berbekal izin Penguasa Perang Daerah Jawa Barat, organisasi militer yang sangat berkuasa, nomor perdana Aktuil diterbitkan pada 8 Juni 1967.
Awak Aktuil yang hampir seluruhnya berasal dari keluarga kelas menengah kota. Tak urung mereka merasakan suka-duka mengecerkan majalah. Para pengecer dadakan ini berkeliling kota bersepeda motor. Sebagian bahkan melarikan majalah ke luar kota Bandung, seperti Sumedang, Garut, dan Cianjur. Oplah 5.000 eksemplar ludes dalam waktu kurang seminggu. "Siga kacang goreng kasar na mah (seperti kacang goreng kasarnya)," kenang Gandanegara.
Pada nomor kedua, mereka tak mau diganggu lagi problem keredaksian. Karenanya, Maman Sagith, mantan awak Harian Banteng, mereka comot. Pada nomor ini mereka baru berani menetapkan kebijakan periodisasi terbit: dwimingguan.
DENNY Sabri Gandanegara, kelahiran Garut 1948, tidak perlu rumah sakit jiwa untuk mengobati kegilaannya pada Deep Purple, sebuah kelompok musik rock asal Inggris yang sedang merajai ingar-bingar blantika musik cadas. Maka, selepas edisi nomor tiga, dia siap-siap menuju Eropa. Kepada ayahnya, dia bilang bakal kuliah di sana. Kepada kawan-kawannya di redaksi Aktuil, dia janji akan mengirimkan laporan pandangan mata pentas para pemusik rock, terutama Deep Purple.
Ternyata, Gandanegara malah makin tenggelam ke dasar kegilaannya hingga uang di koceknya untuk hidup dua tahun terancam habis hanya dalam beberapa bulan. Tangannya pun enggan menyentuh mesin tik. Alhasil, laporan pandangan mata yang dijanjikan hendak dikirimkan segera sesampai di Eropa, hanya menjadi dedak di dalam benak.
Di Bandung, pekerjaan redaksi praktis hanya dikerjakan oleh dua orang: Maman Sagith dan Sonny Suriaatmadja, seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung. Kurangnya personel membuat kerja mereka benar-benar spartan. Apa saja mereka garap. Dari pengumpulan sampai pengolahan informasi, dari pekerjaan layout sampai mengocek tinta cetak, dari menjilid sampai mengepak, juga mengedarkan majalah. "Wartawan sekarang sungguh beruntung. Semua serba otomatis. Ada tape recorder, ada komputer. Dulu, kalau tangan belum belepotan, belum bisa disebut wartawan," ujar Sagith pada saya.
Pada 1968, kantor redaksi Aktuil di 2000 Hamburg 52, Wichman Sto. 42/B Grahn, Jerman Barat, mulai mengirimkan hasil reportase. Namun, sambutan publik masih biasa-biasa saja. Tampaknya, reportase tersebut kurang menggigit karena sebagian besar isinya menyadur majalah asing.
Di Bandung, sejak awal rezim Orde Baru naik ke altar kekuasaan, majalah-majalah asing, baru atau bekas pakai, boleh dibilang menyerbu deras bursa media Cikapundung. Tak terkecuali Muziek Express, terbitan Belanda, yang acap dijadikan rujukan Gandanegara.
Sonny Suriaatmadja tidak kehabisan akal. Ia menerjemahkan artikel dari majalah-majalah tersebut untuk tulisan-tulisannya, sekadar usaha untuk menanamkan kebiasaan membaca Aktuil. Paling tidak, berusaha bertahan hidup dari kurangnya artikel-artikel yang masuk.
Usaha Suriaatmadja tidak sia-sia. Aktuil terus bertahan sampai Suriaatmadja punya ide menurunkan tulisan bertema perubahan gaya hidup Barat nun jauh di seberang benua. Dikemas dalam artikel serial sepanjang 1969, Suriaatmadja antara lain memotret abc kehidupan hippies: mulai sistem sosial yang mereka bangun, ideologi, cara berbusana, seks dan orgi, sampai bagaimana mereka bergaul dengan mariyuana.
Artikel serial tersebut mendapat sambutan luar biasa. Surat-surat dari pembaca terus mengalir ke meja redaksi untuk memberi komentar atau sekadar bertanya. Oplah Aktuil pun bergerak naik hingga tiga kali lipat dibanding terbit pertama kali. Percetakan PT. Timbul gelagapan. Ledakan oplah tiba-tiba, karena banyaknya pesanan, memaksa PT. Aktuil -payung penerbitan majalah Aktuil yang dibangun setelah dua tahun terbit- melarikan sebagian order cetak ke PT Ekonomi, di Jalan Oto Iskandar Dinata, di Bandung juga.
Oplah terus mengalami perkembangan signifikan. Lebih-lebih setelah seniman Remy Sylado menyuntikkan eksperimen sastra mbeling dalam bentuk cerita bersambung Orexas. Cerita ini sekaligus menegaskan Aktuil sebagai majalah anak muda. Orexas sendiri bukan dewa atau ksatria dari mitos Yunani, melainkan kependekan dari "organisasi sex bebas."
Di negeri asalnya, baik di daratan Eropa maupun Amerika Serikat, pemberontakan anak muda dimulai setidak-tidaknya sejak 1950-an dalam bentuk tumbuhnya subkultur rock'n roll, dengan embrio munculnya generasi cross boy. Film-film Hollywood yang dibintangi James Dean macam East of Eden atau Rebel without A Cause, memberi siluet bagaimana pemberontakan itu dilakukan, bagaimana kebebasan berekspresi menentukan nasibnya sendiri.
Di Indonesia, pemberontakan anak muda, secara eklektis disalurkan melalui bahasa nonverbal dalam bentuk peniruan tingkah laku dan gaya. "Di sana," kata Remy, "perlawanan berlangsung sangat verbal, dinyatakan dengan kata-kata. Di sini, orang tidak terlatih berkalimat." Ironisme mengalir lancar. Sejumlah kaum muda Jakarta, misalnya, mengapresiasi tokoh Shane dalam film Shane yang dibintangi Alan Ladd, melulu sebagai tukang gebuk, jagoan tak kenal kompromi. Walhasil, Shane -yang dikagumi cendekiawan muda Arief Budiman karena moralitas ceritanya yang antikekacauan sosial- tak lebih dari simbol kebengalan. Shane, tokoh protagonis yang biasa melilitkan selendang kuning, pada akhirnya melahirkan kelompok antagonis bagi masyarakat dalam wujud geng Selendang Kuning Boy, yang pada 1970-an bikin pening aparat karena peperangan bengisnya melawan geng Marabunta Boy.
Remy mencoba meluruskan persoalan dengan caranya sendiri. Kemampuannya berbahasa dalam sejumlah bahasa dunia dan kemauannya untuk mencoba berpikir lintas bangsa, memungkinkan dirinya dapat memindahkan teks yang bersembunyi di balik fenomena pertempuran budaya tua-muda itu ke dalam sastra eksperimental yang ditekuninya.
SEGERA setelah perubahan surat perizinan, dari izin Penguasa Perang Daerah Jawa Barat ke Izin Menteri Penerangan melalui surat keputusan nomor 0929/SK/Dir/SIT/1970, Denny Sabri Gandanegara dari Jerman Barat mengontak markas pusat dan menyarankan agar Remy direkrut jadi redaktur, "Dia seniman hebat."
Menjelang 1970 berakhir, oplah Aktuil mencapai 30 ribu eksemplar. Percetakan PT. Ekonomi yang mulai kepayahan, mengharuskan PT. Timbul menambah kapasitas cetaknya, dengan mendatangkan mesin baru Gordon.
Untuk menampung karya-karya yang terus mengalir ke dapur redaksi, ukuran majalah yang semula 16 x 21 centimeter diubah menjadi 21 x 29,7 centimeter. Tiba-tiba saja, Aktuil merasakan betapa berat kerja mereka. Karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk merekrut tenaga-tenaga pracetak, yang selama ini dikerjakan Dedi Suardi.
Maman Husen Somantri, seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung, yang dianggap menguasai seluk-beluk pekerjaan desain, direkrut Aktuil. Untuk pertama kalinya, Somantri menelurkan gagasan pemberian bonus stiker, poster, dan gambar setrikaan. Dalam tempo cepat, atribut Aktuil menyebar ke pelosok kota; dan Aktuil tak urung jadi simbol sosial anak muda kota Bandung. "Rasanya belum menjadi anak muda kota kalau tidak menenteng Aktuil," kata Yusran Pare, penanggung jawab harian Metro Bandung, yang pada 1980-an menjadi penjaga gawang rubrik kebudayaan di Bandung Pos. Dia sendiri, di awal 1970, sudah biasa merengek pada ayahnya untuk dibelikan Aktuil.
Tiras Aktuil menembus angka 126 ribu eksemplar. Sagith memperkirakan oplah sebesar itu dicapai dalam kurun 1973-1974, atau setelah Aktuil Fans Club, komunitas kaum muda pembaca Aktuil, terbentuk di berbagai daerah. Asal tahu saja, di Jakarta, Aktuil Fans Club diurus kelompok musik Panbers. Sedangkan di Bandung, ditangani antara lain oleh A.M. Ruslan, kini penanggung jawab redaksi Pikiran Rakyat.
Gara-gara tiras yang tiba-tiba melompat ke angka fantastis, PT. Aktuil tidak bisa lagi hanya mengandalkan dua percetakan. Sebagian order cetak akhirnya dilarikan ke PT. Masa Baru yang berlokasi di kawasan Viaduct, Braga, Bandung; tempat berdirinya Bank Republik Indonesia Tower sekarang. Belakangan, dari keuntungan yang diperoleh, PT. Timbul menambah lagi mesin cetaknya: Invicta 36.
Habis masalah percetakan, terbit problem pemasaran. Kian Thiong, manajer pemasaran, keteteran. PT Aktuil kemudian memanggil Billy Silabumi, coordinator wartawan Aktuil di Jakarta, untuk turut menangani sirkulasi dan distribusi, terutama untuk kawasan Jakarta dan luar Bandung lainnya.
Adakah korelasi antara peningkatan oplah dengan keterlibatan Remy Sylado? Saya tak tahu. Di Bandung hampir tidak ada dokumen pendukung. Jangankan dokumen, kumpulan majalah dari setiap edisi, yang dulu dibendel dengan rapi dan memenuhi kamar kerja Toto Rahardjo, sudah tidak ada (saya mendapat koleksi Aktuil di perpustakaan pribadi Sylado).
Namun, dari sejumlah narasumber yang saya hubungi, hampir semuanya merujuk pada nama Remy sebagai pemberi sapuan besar pada lelakuning urip media itu. Arief Gustaman, redaktur budaya Metro Bandung, mengatakan, "Remy Sylado sedang gila-gilanya." Remy membangun komunitas sastrawan Bandung, terutama dari lapisan kaum muda. Gedung Kesenian di Jalan Naripan, Bandung, boleh dibilang tak pernah sepi pertunjukkan.
REMY Sylado adalah nama baptis Jubal Anak Perang Iman Tambajong, atau ia biasa menyingkatnya Japi Tambajong. Nama Remy Sylado, sesekali cukup ditulis 23761, diambilnya dari chord pertama lirik lagu All My Loving milik The Beatles. "Nama saya diinterpretasikan macam-macam. Padahal saya bikin asal-asalan," ujarnya terkekeh.
Remy, di mata Sagith, berhasil memberikan cetak biru Aktuil untuk tidak sebagai majalah hiburan belaka, tetapi juga tempat digodoknya gagasan-gagasan baru dan orisinal. Artikel musik di tangannya adalah catatan tentang kebudayaan dan peradaban. Dari titik pandangnya, sastra dan musik bisa juga jadi sebuah pertautan yang utuh, koheren, seperti terekam dalam tulisan-tulisannya mengenai Marc Bolan atau H.G. Wells, tokoh-tokoh penting 1970-an yang mengawinkan puisi dan musik. "Saya mencoba mencari alternatif, di luar musik pop yang menjadi musik niaga," Remy menerangkan.
Remy menilai, pop sudah sedemikian merasuki sendi-sendi kehidupan kaum muda, sehingga mereka tenggelam ke dalam massifikasi produk pop. Sialnya, musik pop yang digaulinya tak lebih dari musik yang menurut Remy "cengeng." Ia hendak menawarkan pilihan lain. Ia tahu, musik alternatif versinya, baik yang ditampilkan melalui pentas maupun lewat tulisan-tulisannya di Aktuil, berpotensi untuk tidak laku. "Tapi, saya tidak mau tenggelam dalam model yang lain," tandasnya.
Tulisan-tulisan Remy di Aktuil menginspirasi sejumlah musisi untuk melakukan perlawanan terhadap selera pasar. Yan Hartlan dan kawan-kawannya sesama musisi Bandung mempopulerkan irama country di Bandung. Syairnya tidak melulu cinta dan patah hati, tapi juga tafsir hidup lain yang lebih luas.
YANG menarik dari Remy Sylado adalah kepeloporan dan sikapnya yang cenderung
devian. Pada 1980-an, ia misalnya mementaskan sebuah opera di Senayan, dengan tokoh Yesus seorang putra Papua dari kelompok Black Brother. Sebelumnya, untuk pertama kalinya, Remy membuat buku dramaturgi pertama. Dan di Aktuil, ia memelopori eksperimen sastra mbeling, termasuk dalam puisi.
Tidak ada batasan usia, status sosial, dan "derajat" kepenyairan untuk menulis puisi mbeling di Aktuil. Dalam beberapa kesempatan, Remy Sylado bahkan sengaja menampilkan puisi-puisi yang disebutnya jelek. Tak usah heran kalau gerakan mbeling berhasil mencetak ribuan puisi dan karya sastra lainnya, selain menelurkan ratusan nama dari dalam dan luar negeri.
Kebanyakan penyair mbeling memang suka berkelakar. Lihat misalnya, bagaimana Nhur Effendhi Ardhianto memberi makna pada puisinya, "Penyakit Turunan" (1974): habis makan kenyang. Atau Remy dengan puisinya, "Waktu Doa Ulangtahun Frya Immambonjol" (1974): terima kasih tuhan atas hidangan ini berhubung botty tiba-tiba kentut terpaksa amin kami ganti dengan
YANG menarik dari Remy Sylado adalah kepeloporan dan sikapnya yang cenderung
devian. Pada 1980-an, ia misalnya mementaskan sebuah opera di Senayan, dengan tokoh Yesus seorang putra Papua dari kelompok Black Brother. Sebelumnya, untuk pertama kalinya, Remy membuat buku dramaturgi pertama. Dan di Aktuil, ia memelopori eksperimen sastra mbeling, termasuk dalam puisi.
Tidak ada batasan usia, status sosial, dan "derajat" kepenyairan untuk menulis puisi mbeling di Aktuil. Dalam beberapa kesempatan, Remy Sylado bahkan sengaja menampilkan puisi-puisi yang disebutnya jelek. Tak usah heran kalau gerakan mbeling berhasil mencetak ribuan puisi dan karya sastra lainnya, selain menelurkan ratusan nama dari dalam dan luar negeri.
Kebanyakan penyair mbeling memang suka berkelakar. Lihat misalnya, bagaimana Nhur Effendhi Ardhianto memberi makna pada puisinya, "Penyakit Turunan" (1974): habis makan kenyang. Atau Remy dengan puisinya, "Waktu Doa Ulangtahun Frya Immambonjol" (1974): terima kasih tuhan atas hidangan ini berhubung botty tiba-tiba kentut terpaksa amin kami ganti dengan jancuk.
Dasar ideologis puisi-puisi mbeling tentu saja bukan dimaksudkan semata untuk lelucon. Lebih dari itu, para penyair mbeling -yang dirumuskan redaksi Aktuil sebagai "sikap nakal yang tahu aturan"- pada mulanya bermaksud memberi tandingan pada puisi-puisi establishment yang mendewakan bobot dan pesan.
Sebagai sebuah gerakan sastra, ungkap Massardi, mbeling boleh dibilang kredo sastrawan muda 1970-an, yang secara tegas ingin mendobrak kebekuan, sekaligus menggugat dominasi Jakarta yang berpusat pada penyair macam Sapardi Djoko Damono atau Goenawan Mohamad. "Saya gembira saya ambil bagian di dalamnya," kata Massardi.
Di kesempatan lain, Remy menegaskan, "Manusia lahir bukan untuk jadi seniman. Manusia lahir untuk menjadi manusia. Hidup berada di atas junjungan kepalanya. Bukan seni yang harus dijunjungnya. Seni harus diletakkan di telapak kaki .... Yang merasa bangga jadi penyair mudah-mudahan hanya mereka yang mimpi di langit dalam tidurnya di atas tikar yang penuh kepindingnya."
Disemangati atau tidak oleh pernyataan-pernyataan seperti itu, muncul kemudian gejala umum, para penyair mbeling secara akrobatis ramai-ramai melemparkan sindiran, ejekan, pun caci-maki kepada para penyair yang sibuk dengan suku kata, bunyi, tekanan, aspek ortografis, visual, gaya, bentuk, dan imajinasi. Melalui "Buat Penyair Tua" (1973), Remy memukul gong peresmian proyek sastra untuk mengejek:
Selamat istirahat
Buat kau, ini kain kafan
Semoga cepet dirundung frustasi.
Hari-hari selanjutnya, puisi-puisi ejekan jadi mode. Penyair garang sekelas W.S. Rendra sekalipun, kena sentil. Pada edisi nomor 136 tahun 1974, Aktuil memberi kesempatan Estam Supardi untuk mengolok-olok Rendra:
selamat malam tuan rendra
oh, tuan laki-laki bukan?
Burung tuan kondor, kedodor.
Walau terkesan asal jadi, puisi mbeling tak dapat dibendung kehadirannya di forum-forum pembicaraan sastra. Hasil penelitian Soedjarwo, Th. Sri Rahayu Prihatmi, dan Yudiono K.S., para dosen fakultas sastra dan budaya Universitas Diponegoro, Semarang, yang belakangan dibukukan menjadi: Puisi Mbeling: Kitsch dan Sastra Sepintas, terungkap bahwa pada pemilihan buku kumpulan puisi terbaik, buku Sajak Sikat Gigi karya Yudhistira Ardi Noegraha Massardi diputuskan Dewan Kesenian Jakarta sebagai salah satu pemenangnya, bersama Peta Perjalanan (Sitor Situmorang), Meditasi (Abdul Hadi W.M.), dan Amuk (Sutardji Calzoum Bachri).
Tiga nama yang disebut terakhir keberatan disandingkan dengan Massardi. Di mata Sutardji Calzoum Bachri, Yudhistira Massardi adalah penyair yang lugu. Syairnya?
"Kitsch," kata Abdul Hadi W.M.
"Parodi yang gagal dari sajak," ujar Sitor Situmorang.
"Mereka sangat tersinggung karya saya disejajarkan dengan mereka. Mereka ini teman-teman saya juga, sama-sama pernah menyuarakan mbeling. Justru Goenawan Mohamad yang memberikan respon. Padahal dia yang selama ini digugat," tutur Massardi. Goenawan Mohamad, dalam pemilihan tersebut, bertindak sebagai salah seorang juri.
Sejumlah media ramai memberitakan dewan juri menarik keputusannya. Padahal, kisah persisnya tidak seperti itu. "Mereka mengambil hadiahnya. Saya nggak. Kurang ajar. Ha ha ha ha," Massardi ngakak, menceritakan ulah teman-temannya itu.
TAHUN 1975, bekerja sama dengan Peter Basuki dari Buena Ventura, Denny Sabri Gandanegara dari Aktuil mengundang Deep Purple ke Indonesia. Selama dua hari, 5-6 Desember 1975, Jakarta berguncang. Kaum muda, dari berbagai penjuru tanah air, datang ke Jakarta memastikan bahwa mereka sedang tidak bermimpi.
Sekurang-kurangnya 150 ribu orang tersedot pertunjukan itu. "Mulanya mereka tidak mau datang ke Indonesia. Tapi saya meyakinkannya. Saya berbicara dengan (Ritchie) Blackmore, lalu saya bujuk Ian Gillian," Gandanegara mengenang. Blackmore adalah pemetik gitar Deep Purple, dan sering tampil menjadi juru bicara grup ketika mereka sedang beraksi di panggung. Sedangkan Gillian adalah penyanyi, dengan lengkingan vokal yang khas.
Kehadiran mereka di Jakarta memang lebih didasarkan hubungan Gandanegara dengan
anggota kelompok musik tersebut sejak paruh 1960-an. Pada 1970, Deep Purple bahkan memasukkan Gandanegara sebagai salah satu kru mereka ketika tur di delapan kota Jerman: mulai Hamburg, Hannover, Berlin, Kóln, Frankfurt, Munchen, Leverkusen, sampai Wina, juga Paris.
Ketika Deep Purple jalan ke Amerika Serikat pada 1971, Gandanegara ikut pindah. Sampai di Amerika, Gandanegara melihat wajah Paman Sam yang sesungguhnya, yang selama ini bersembunyi di balik kekagumannya pada Eropa. Amerika, pikirnya, cepat atau lambat akan menjadi pusat kekuatan musik dunia. Dengan mata dan kepalanya sendiri, Gandanegara melihat indikator-indikatornya dalam bentuk megahnya panggung-panggung pertunjukan, aliran dana yang terkesan tanpa batas, atau para manajer profesional yang bekerja penuh disiplin. Interelasi dari semua itu, musik berkembang secara akseleratif di sana. Inggris boleh melahirkan para rocker, namun Amerika memberinya uang, popularitas, dan harga diri. Inggris boleh melahirkan tradisi musik rock, tapi Amerika berhasil melakukan degresi dan inovasi atas rock: hard rock, pop rock, art rock, atau glam rock.
Gandanegara segera mengontak redaksi di Bandung untuk membuat jaringan koresponden di sana. Mendapat sambutan, Gandanegara kemudian merangkul Yan Mufni, seorang mahasiswa asal Bandung. Gandanegara juga mengajak Chondone, seorang pria campuran Amerika-Subang untuk memotret. Adang R. Sanusi yang sudah lebih dulu mewakili Aktuil di Amerika, dikukuhkan sebagai kepala perwakilan.
Untuk melapis Amerika, Aktuil menunjuk Paul Subekti sebagai koresponden Kanada. Tahun 1972, Gandanegara kembali ke Jerman Barat. Kantor redaksi luar negeri yang selama ini terbengkalai, ditata ulang. Beberapa kawannya dari Werkskunstschule, Universitas Hamburg -tempat Gandanegara menimba ilmu desain grafis selepas pra-universitas di Studium College, Universitas Aachen- direkrutnya jadi koresponden. Mereka adalah Rudy Tjio, Harry T, serta Robert Yo. Reportase mereka, ditambah koresponden lain di berbagai negara, yang makin marak, menambah gengsi Aktuil.
Kehadirannya di Indonesia bersama Deep Purple sekaligus mengakhiri karier kewartawanan Gandanegara sebagai redaktur luar negeri Aktuil. Ia mulai mempraktikan jurus-jurus talent scouting yang dipelajarinya dari Andy Cavalier, ketika tinggal di Amerika. Cavalier adalah manajer yang mengorbitkan sejumlah musisi ke blantika musik dunia, seperti Grand Funk Railroad, Helen Reddy, dan Isis.
Gandanegara mendirikan perusahaan manajemen artis: Denis International Inc. "Saya mulai dengan Superkid," kata Gandanegara. Banyak artis yang lahir dari tangannya. Sebut saja Sylvia Sartje, Emma Ratnafuri, Nicky Astria, Nike Ardilla, Poppy Mercury, Farid Hardja, dan Deddy Stanzah. Gandanegara juga mengorbitkan Priyo Sigit, Dennys Rouses, atau Richie Ricardo. "Kadang-kadang saya suka ... apa ya ... hampir seluruh penyanyi orbitan saya meninggal di puncak kariernya," katanya perlahan.
SONNY Suriaatmadja, Denny Sabri Gandanegara, dan Remy Sylado adalah triumvirat pemikir Aktuil yang berhasil menaklukkan hati publik. "Peran mereka sangat besar, membawa Aktuil sebagai pelopor di berbagai hal. Dari sastra sampai musik, dari film sampai pergaulan sosial," ujar Maman Sagith. Sagith mungkin benar. Tapi juga, tumbuh dan besarnya Aktuil boleh jadi lantaran ia melenggang hampir tanpa saingan. Khusus di kota Bandung, Aktuil bahkan hadir sebagai satu-satunya majalah hiburan. Itu hitung-hitungan bisnisnya. Dari sisi politis, Aktuil pun sebenarnya diuntungkan sejarah. Ia mendapat "subsidi politik" rezim Orde Baru.
A. Tjahjo Sasongko dan Nug Katjasungkana dalam esai "Pasang Surut Musik Rock di Indonesia" yang dimuat majalah Prisma, Oktober 1991, memaparkan bagaimana Orde Baru melakukan counter budaya terhadap sisa-sisa pengaruh rezim Presiden Soekarno, seraya menanamkan keyakinan kepada rakyat bahwa mereka tak anti-Barat. Berbeda dengan Soekarno yang sejak 1964 melakukan pembabatan musik Baratm-Soekarno menyebutnya musik "ngak-ngik-ngok"- Orde Baru dukungan militer ini justru menyokong pertunjukan-pertunjukan yang digelar anak muda. Malahan Angkatan Darat turun tangan untuk tujuan itu dengan membentuk orkes Badan Koordinasi Seni Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (BKS-Kostrad). Orkes ini dikelilingkan ke sejumlah kota besar di Indonesia, dengan artis pendukung Onny Suryono, Lilis Suryani, dan lainnya.
Badan itu pun pada akhir 1966 sengaja mendatangkan The Blue Diamond, kelompok musik terkenal dari Belanda, untuk tur bersama. Penyanyi Titiek Puspa, Bob Tutupoly, dan Ernie Djohan ikut menyemarakkan tur ini. Di hampir semua tur, BKS-Kostrad sudah lazim mempertunjukkan musik, penyanyi, atau kelompok musik, yang di masa rezim Soekarno jadi sasaran intel bahkan dilarang main.
Tidak hanya panggung pertunjukan. Rezim Orde Baru pun mendukung produksi rekaman
lagu. Stasiun-stasiun radio yang menyiarkan lagu-lagu barat tak diganggu kemunculannya. William H. Frederick dalam tulisan "Rhoma Irama and the Dangdut Style" dalam jurnal Indonesia, mengemukakan, "Sebelum Orde Baru terbuka pada aktivitas ekonomi barat, mereka terbuka pada musik rock Inggris dan Amerika."
Rezeki boom minyak 1970-an mendukung proyek menarik hati rakyat yang digalang Orde Baru ini. Di berbagai kota, bermunculan sarana-sarana hiburan untuk berbagai kelas. Pertunjukan musik tiba-tiba bergetar di banyak kota. Perusahaan-perusahaan rokok galibnya berada di balik semua panggung pertunjukan.
Kelompok-kelompok musik tumbuh subur. Calon artis bejibun antre kesempatan. Triumvirat Aktuil memanfaatkan momentum ini untuk bahan-bahan tulisannya. Aktuil memperkenalkan artis-artis luar, mulai profil sampai pada kebiasaannya manggung. "Saya yang memperkenalkan Bob Dylan," ujar Remy Sylado, mengacu pada penyanyi balada asal Amerika Serikat yang kehadirannya di sana identik dengan gerakan anti Perang Vietnam 1960-an dan 1970-an.
Tiadanya televisi komersial dan klip video, memacu pertumbuhan bisnis Aktuil sebagai sarana promosi kaset, artis debutan baru, dan aktivitas para promoter showbiz. Bisa dipahami kalau Aktuil kemudian jadi bacaan wajib buat kalangan pecinta musik. "Ketika rock sedang booming di seluruh Indonesia, Aktuil menyatukan semua ini. Ia menjadi outlet dari seluruh daerah musik," kata Massardi.
KEBERHASILAN Aktuil menggugah orang lain untuk melakukan investasi pada media
yang menekuni musik, film, dan ... sastra mbeling. Di Jakarta, misalnya, penerbitan pers Tiara Klik berdiri. Dari kelompok ini lahir sejumlah penerbitan yang jadi pesaing Aktuil seperti Ultra dan Top.
Sejak 1974, Remy Sylado sering diminta menulis di Top. Pada 1975, Remy mengundurkan diri dari Aktuil dan masuk Top. "Memang faktor ekonomis masuk dalam
pertimbangan, tapi saya pindah lebih disebabkan oleh persahabatan," tutur Remy. Lagi pula, aktivitas seni dan kegiatan mengajarnya di Jakarta makin meminta perhatian lebih. Hanya itu? Kalau daftar alasan kepindahan Remy hendak diperpanjang, maka suasana
kerja di Aktuil sepanjang tahun 1974 mungkin benar jadi pemicunya. Sejak dia membantu Top, Remy merasakan suasana kerja yang gerah. "Membantu Top," ujarnya,
"buat orang Aktuil saya itu dianggap musuh dalam selimut."
Kepergian Remy yang disusul Denny Sabri Gandanegara, karena makin jarang masuk
kantor demi kesibukannya mencari artis-artis berbakat, tampaknya merupakan pukulan telak buat Aktuil. Bukan saja Aktuil kehilangan daya sastranya, reportase luar negeri yang tadinya terkoordinasi rapipun tak lagi menghadirkan greget.
Triumvirat Aktuil habis. Di dalam kantor, tinggal Sonny Suriaatmadja sendirian. Tahun 1976, tiras Aktuil mengalami saturasi: melorot dan terus melorot. "Saya kira," ungkap Remy, "redaksi Aktuil sudah mulai menua. Kalau redaksi menua dan tulisan-tulisannya adalah pelimpahan ketuaannya, itu sudah tidak cocok lagi dengan segmen pembacanya." Sejak awal, Remy dan sejawatnya tahu persis mereka harus membuat bacaan untuk kisaran umur 16-18 tahun. "Sudah saya katakan pagi-pagi betul, potensi Aktuil itu remaja," tandas Remy ketika saya temui di rumahnya baru-baru ini.
Lonceng kematian mulai berdentang di tahun 1977, ketika oplah Aktuil yang sebelumnya sudah menembus angka 100 ribu eksemplar lebih, tinggal sekitar 30 ribu eksemplar. Toto Rahardjo mulai mondar-mandir di dalam kantor dan menyuruh anak buahnya, Billy Silabumi, untuk mengecek permohonan paten merk Aktuil ke Departemen Kehakiman. Paten dianggap penting sebagai usaha mempertahankan diri dari jarahan orang. Akhir 1978, oplah Aktuil secara dramatis meluncur tajam. Tinggal 3.000 atau 4.000 eksemplar.
Sondang Pariaman Napitupulu, ekspentolan organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia dan mantan wartawan beberapa majalah, rupanya mencium ancaman kehancuran Aktuil. Napitupulu hilir-mudik Jakarta-Bandung mengutarakan niatnya "membeli" Aktuil. Rahardjo tak punya kekuatan untuk menolaknya.
Pada 1979 Aktuil pun mulai diterbitkan dari Jakarta. Toto Rahardjo tetap pemimpin umum tapi jabatan pemimpin redaksi dialihkan ke Napitupulu. Musik dan sastra mbeling tak lagi dijadikan generator pendongkrak oplah. Di tangan Sondang Pariaman Napitupulu, Aktuil disulap jadi majalah umum. Menurut Remy Sylado, majalah ini lebih tertarik pada "politik dan tetek." Bens Leo menyebutnya "Aktuil Gaya Sondang."
DARI Asbari Nurpatria Krisna saya memperoleh gambaran hidup Aktuil di perantauannya. Di Jakarta, Aktuil berkantor di kawasan Proyek Senen, Jakarta Pusat, dengan percetakan PT Karya Nusantra, yang berlokasi di Kemayoran. Krisna adalah salah seorang editor Aktuil periode Jakarta. Dia kini tinggal di Belanda dan sejak 1986 bekerja buat Radio Netherland. Sejarah mencatat, Krisna dan istrinya, Josephine Yuyu Mandagie adalah pasangan pertama yang memperoleh anugerah hadiah jurnalistik Adinegoro. Mandagie sampai kini masih jadi koresponden Suara Pembaruan.
Krisna didatangi Sondang Napitupulu yang meminta Krisna jadi redaktur pelaksana Aktuil. "Saya terima tawaran tanpa membicarakan gaji," kata Krisna seraya mengungkapkan, "Saya menjaga gawang isi, karena Sondang mempercayakannya kepada
saya, termasuk soal bahasa Indonesia dan penggunaan bahasa asing."
Di tangan dwitunggal Napitupulu-Krisna, Aktuil dapat merangkak lagi. Untuk dapat berlari, Napitupulu mencoba membujuk Remy Sylado, yang sejak 1975 mengelola majalah Top. Remy menyatakan oke. Aktuil sempat menembus tiras 25 ribu eksemplar, namun angka ini tak bertahan lama. Penyebabnya? Berbeda dengan semasa Bandung, Aktuil periode Jakarta hamper bisa dikatakan abai terhadap penggalian ide-ide baru, baik dalam musik maupun sastra.
Napitupulu bahkan terkesan hendak mengembalikan Aktuil ke semangat tahun 1950-an, ketika jagat media penuh dengan teriakan dan caci-maki. "Orang tidak suka lagi pada pers yang gegap-gempita. Muak orang baca media seperti itu," komentar Remy. Namun demikian, satu hal yang pantas dicatat, laporan investigasinya lebih maju ketimbang Bandung. Aktuil "Gaya Sondang" diwarnai oleh "jurnalisme bongkar kasus sampai ke akar-akarnya." "Sebagai wartawan," ujar Krisna, "Sondang P.N. sangat baik dalam investigasi. Kerjanya seperti kuda, pantang menyerah, walaupun diancam akan dibunuh
sekalipun."
Tapi Napitupulu bukan superman, yang dengan sigap berani menantang maut. Dia tak
jarang main lempar tanggung jawab. Krisna masih ingat, misalnya, kehadiran seorang perwira militer yang murka karena merasa dirugikan Aktuil. "Saya yang harus menghadapinya," kata Krisna.
Peristiwa hampir senada juga dialami Remy Sylado ketika Aktuil digugat Soehoed Warnaen, wakil gubernur Jawa Barat. Warnaen merasa difitnah telah menyerobot sepetak tanah milik seorang pensiunan militer, di kawasan Jalan Setiabudhi, Bandung. "Tak ada satu pun wartawan Bandung berani muat. Saya memberitakannya sampai kasus ini disidangkan," ujar Remy.
Di masa kepemimpinan Napitupulu, sudah jamak awak Aktuil dipanggil departemen penerangan untuk "dibina" berkaitan dengan tulisan dan foto yang dimuatnya, baik karena dianggap melanggar susila maupun mencemarkan nama baik.
Kebanggaan awak Aktuil terhadap Napitupulu rupanya tak bertahan lama. Oplah merosot. Satu per satu, awak Aktuil meninggalkan Napitupulu. Krisna keluar pada 1981 karena merasa tak cocok lagi. Pada tahun itu pula Napitupulu diturunkan dari kursi pimpinan oleh para anak buahnya.
ASBARI Nurpatria Krisna yang sedang memulai kehidupan baru, kembali ke bangku kuliah, ramai-ramai didatangi bekas anak buahnya. Dia diminta memimpin mereka. Krisna menyatakan siap jadi pemimpin redaksi, dengan sejumlah persyaratan bahwa selama setahun kepemimpinannya orang tidak boleh merecoki kebijakannya. Dia ingin menaikan kembali Aktuil yang mulai terpuruk, seraya menata manajemen sumber daya manusia, yang dinilainya lemah. Krisna pun mencanangkan program pendidikan buat wartawannya. Namun, bekerja tertib ala Krisna rupanya tak populer bagi mereka. Lebih-lebih setelah Krisna langak-longok ke sektor bisnis, yang dalam pandangan Krisna, mengesankan adanya ketidakberesan. Ia, misalnya, terheran-heran ketika muncul "Konsep Iklan 3-1" alias tiga iklan dibayar satu yang didesain Nuke Mayasaphira, manajer iklan. Apa benar konsep seperti itu ada? "Ada kali, ya?" kata Lies Hindriati, yang waktu lampau menjadi staf tata usaha Aktuil. Hindriati kini bekerja untuk PT Nindotama, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang periklanan outdoor, tempat Mayasaphira jadi direktur utamanya.
Toto Rahardjo, pemimpin umum Aktuil, membenarkan adanya konsep semacam itu. "Waktu itu," ungkapnya, "memang kita susah cari iklan." Toh Rahardjo tak memungkiri kalau resep tersebut tak cukup manjur menyehatkan kembali Aktuil, yang mulai terseok-seok.
Konflik menggejala. Saling curiga merajalela. "Mereka tidak lagi satu misi. Tidak sekompak dulu. Waktu di Bandung, Aktuil kompak sekali. Kita malahan sering piknik beramai-ramai, termasuk ke Bali," kata wartawan Aktuil Bens Leo. Krisna patah arang. Dalam sebuah rapat lengkap, tepat setahun kepemimpinannya, Krisna berucap, "Kalau ingin kedudukan saya, ambillah, saat ini juga saya keluar." Krisna meninggalkan rapat, dan sejak itu pula tak pernah kembali ke Aktuil.
Rahardjo, sekalipun masih menjabat pemimpin umum, tak bisa berbuat banyak. Kekuasaannya hanya berdaulat di atas kertas. Secara de facto, kekuasaan Aktuil kini sepenuhnya di tangan Noor Slamet Asmaprawira, adik Harmoko, seorang tokoh Persatuan Wartawan Indonesia dan selama hampir 15 tahun jadi menteri penerangan rezim Soeharto.
Belum tuntas konflik ditangani, hantu masalah lain muncul: kelangkaan pasokan kertas. Asmaprawira, yang kepemimpinannya semula tak mau direcoki, kini melunak dan minta bantuan Toto Rahardjo. Atas perintah Rahardjo, Maman Sagith mencoba menyurati Apandi, bendahara Serikat Penerbit Pers Jawa Barat, untuk meminta suplai kertas 10 ton per bulan agar Aktuil bisa meningkatkan tiras jadi 30 ribu eksemplar per terbit.
Yang disurati angkat tangan. Apandi merasa, Aktuil bukan lagi tanggung jawabnya. Domisili Aktuil tidak lagi di Jawa Barat. Giliran Jakarta yang disurati. Juga tak berhasil. Jakarta melihat, dalam surat izin terbit, Aktuil dinyatakan diterbitkan di Bandung.
Lonceng kematian nyaring berdentang. Hanya sekitar tiga bulan setelah Krisna
mundur, Aktuil masuk ke liang lahat sejarah.
Tahun 1986, Krisna terbang ke Belanda. Beberapa saat kemudian, surat izin usaha penerbitan pers Aktuil terbang ke sekelompok wartawan pecahan Tempo yang memulai
majalah berita Editor. Majalah ini dimodali Bambang Rachmadi, pengusaha yang dikenal karena menjalankan waralaba restoran McDonald di Indonesia.
MATAHARI sudah beranjak dari titik kulminasinya. Empat karyawan percetakan PT. Timbul yang berdinas hari itu, satu per satu meletakkan pekerjaannya; bersiap pulang. "Saya biasa pulang pukul 14.30," ujar Maman Sagith, seraya membereskan sejumlah dokumen Aktuil yang berserak di mejanya.
Di luar, tawuran sejumlah pelajar bermotor sudah mereda. "Dulu, tak pernah ada tawuran di jalan ini. Anak-anak muda memilih main band di sana," Sagith menunjuk sebuah rumah di depan kantornya. Di situ New Rhapsodia, kelompok musik asal Bandung 1970-an, bermarkas.
Kantornya sendiri, di masa jaya-jayanya, jadi tempat persinggahan musisi, penyair, dan bintang film bila mereka melewati Bandung. Bahkan mereka sengaja datang mengunjungi Aktuil sekadar untuk berkenalan dan kongko-kongko. "Musisi atau penyanyi cita-citanya masuk Aktuil," kata Bens Leo, wartawan Aktuil Jakarta, yang sempat dikirim ke Jepang untuk reportase.
Kini, gedung tua itu hanya ditemani sepi segera setelah jarum jam menunjuk pukul 15.00. Tak ada lagi awak redaksi yang naik ke atas meja, membaca puisi. Tak ada lagi wartawan yang balapan membuat tulisan sekadar iseng. "Tak seorang pun orang Aktuil datang ke sini sejak Aktuil dibawa ke Jakarta," ungkap Sagith. Ia mendengar tak sedikit awak redaksi Aktuil yang makmur seperti Maman Husen Somantri, yang mengepalai perwakilan Bank Indonesia, di London, Inggris atau Goenadi Harjanto yang menekuni bisnis lapangan golf serta real estate. Lalu, di mana triumvirat itu? Sagith menggelengkan kepala.
Remy Sylado-Denny Sabri Gandanegara-Sonny Suriaatmadja punya kesibukan sendiri-sendiri. Remy tinggal di Jakarta, di belakang penjara Cipinang, di rumah kayunya seukuran sekitar 100 meter persegi dengan benteng mirip kampong Galia dalam komik Asterix. Ia masih mengajar, melukis, menulis esai, puisi, drama, dan novel. Salah satu karyanya, Cau Bau Kan, belakangan difilmkan.
Gandanegara masih suka keluyuran dan hidup berpindah-pindah. Rumahnya di Jalan
Lodaya, Bandung, tempat dulu para artis, promotor showbiz dan pengusaha rekaman
berkumpul, sekarang sudah ditempati orang. Gandanegara kini asyik berkebun tomat
di atas sepetak tanah warisan keluarga di Wanaraja, Garut, setelah membuka
pengobatan alternatif tenaga dalam di daerah Margahayu, Bandung.
Suriaatmadja? Kabar yang sampai ke telinga saya, terakhir ia bergabung dengan radio Antassalam, Bandung, pada 1992. Dia mengasuh acara musik dangdut; musik yang tak pernah diresensinya. Di sela-sela waktu luangnya, ia menyempatkan diri mengarang beberapa buku cerita anak. Setelah terlibat problem keluarga dengan istrinya, ia menghilang ... seperti juga Aktuil yang tertimbun tumpukan puing-puing sejarah grand narrative negeri ini.
Denny Sabri Gandanegara telah wafat di Bandung, Jawa Barat pada hari Sabtu, 29
November 2003.
Gitu deh...
Sunday, December 27, 2009
SAXOPHONE INDONESIA
SAXOPHONE INDONESIA
Pada awalnya saxophone dikenal di Eropa, kemudian Amerika dan lalu menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Di Eropa maupun Amerika, popularitas saxophone sudah diraih sejak sekian puluh tahun lalu. Sementara saxophone di Indonesia baru mulai dikenal masyarakat dan mulai digemari pada beberapa tahun belakangan ini saja. Mengapa begitu? Entahlah…
Yang terang, “Rumah Tiup” kita ini punya misi ingin memasyarakatkan serta mempopulerkan saxophone di Indonesia. Ya, kenapa tidak? Sosok saxophone itu keren, suaranya sexy, dll, dst, dsb. Memainkannyapun tidak rumit melainkan gampang saja. Harganya…, memang tidak murah, tapi masih bisa terjangkaulah. Dengan menabung serta berhemat, niscaya kita akan dapat memilikinya. Dan yang penting, sekali kita bisa memainkan saxophone, selamanya akan tetap bisa. Betul? Dan jangan lupa, ketika kita memiliki ketrampilan bermain saxophone, bakalan makin lengket dah si dia. He he he…
Jadi kalau pengin mencari Saxophone di Indonesia, jangan kemana mana. silahkan mampir ke Rumah Tiup, tempat jual beli dan servis saxophone serta alat musik tiup lain di Indonesia. Ditanggung mantab. Ya, Rumah Tiup menyulap impian Anda jadi kenyataan..., untuk bersaxophone ria!
Gitu deh…
Pada awalnya saxophone dikenal di Eropa, kemudian Amerika dan lalu menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Di Eropa maupun Amerika, popularitas saxophone sudah diraih sejak sekian puluh tahun lalu. Sementara saxophone di Indonesia baru mulai dikenal masyarakat dan mulai digemari pada beberapa tahun belakangan ini saja. Mengapa begitu? Entahlah…
Yang terang, “Rumah Tiup” kita ini punya misi ingin memasyarakatkan serta mempopulerkan saxophone di Indonesia. Ya, kenapa tidak? Sosok saxophone itu keren, suaranya sexy, dll, dst, dsb. Memainkannyapun tidak rumit melainkan gampang saja. Harganya…, memang tidak murah, tapi masih bisa terjangkaulah. Dengan menabung serta berhemat, niscaya kita akan dapat memilikinya. Dan yang penting, sekali kita bisa memainkan saxophone, selamanya akan tetap bisa. Betul? Dan jangan lupa, ketika kita memiliki ketrampilan bermain saxophone, bakalan makin lengket dah si dia. He he he…
Jadi kalau pengin mencari Saxophone di Indonesia, jangan kemana mana. silahkan mampir ke Rumah Tiup, tempat jual beli dan servis saxophone serta alat musik tiup lain di Indonesia. Ditanggung mantab. Ya, Rumah Tiup menyulap impian Anda jadi kenyataan..., untuk bersaxophone ria!
Gitu deh…
Saturday, December 26, 2009
DAFTAR BARANG DIJUAL
DAFTAR BARANG DIJUAL PER 27 DESEMBER 2009
SAXOPHONE TENOR:
AMATI CLASSIC 6,5 JT
EMPEROR 5 JT
DEARMAN 5,5 JT
VITO 5 JT
MAXTONE 3,5 JT (SOLD OUT 30/12/09)
SAXOPHONE ALTO:
ALEXANDRA 5,5 JT (SOLD OUT 29/12/09)
MAXTONE NEW 4,5 JT, (ADA BANYAK)
BABY SAX VALENTINE NEW 4,5 JT (ADA BANYAK)
SAXOPHONE SOPRAN:
LA SAX 12 JT (SOLD OUT 28/12/09)
LINCOLN 2,7 JT
FLUTE:
ARMSTRONG 4 JT
CLARINET:
KAYU EMPEROR 3 JT
MAXTONE NEW 1,8 JT (ADA BANYAK)
LINCOLN 0,8 JT
TRUMPET:
YAMAHA 2 JT
WERIL ANTARA 1 S/D 2 JT
LINCOLN 0,8 JT
LARK 0,5 JT
VALENTINE NEW 1,5 JT (ADA BANYAK)
TROMBONE:
MAXTONE NEW 2 JT (ADA BANYAK)
DLL.
Berminat? Silahkan telpon bu Tina di 021 8411717, 08161439838, 02199136199, 02192708255 dan 085692330090.
Diajari sampai bisa. Gitu deh...
SAXOPHONE TENOR:
AMATI CLASSIC 6,5 JT
EMPEROR 5 JT
DEARMAN 5,5 JT
VITO 5 JT
MAXTONE 3,5 JT (SOLD OUT 30/12/09)
SAXOPHONE ALTO:
ALEXANDRA 5,5 JT (SOLD OUT 29/12/09)
MAXTONE NEW 4,5 JT, (ADA BANYAK)
BABY SAX VALENTINE NEW 4,5 JT (ADA BANYAK)
SAXOPHONE SOPRAN:
LA SAX 12 JT (SOLD OUT 28/12/09)
LINCOLN 2,7 JT
FLUTE:
ARMSTRONG 4 JT
CLARINET:
KAYU EMPEROR 3 JT
MAXTONE NEW 1,8 JT (ADA BANYAK)
LINCOLN 0,8 JT
TRUMPET:
YAMAHA 2 JT
WERIL ANTARA 1 S/D 2 JT
LINCOLN 0,8 JT
LARK 0,5 JT
VALENTINE NEW 1,5 JT (ADA BANYAK)
TROMBONE:
MAXTONE NEW 2 JT (ADA BANYAK)
DLL.
Berminat? Silahkan telpon bu Tina di 021 8411717, 08161439838, 02199136199, 02192708255 dan 085692330090.
Diajari sampai bisa. Gitu deh...
Thursday, December 24, 2009
KISAH KASIH (Artikel Selingan)
Papi ISS berkisah:
Dua warga Amerika memenuhi undangan Departemen Pendidikan Rusia untuk mengajar moral dan etika yang berdasarkan prinsip2 Injil di sebuah panti asuhan. Di Panti asuhan yang merupakan program kepedulian pemerintah tersebut, tinggallah kira2 seratus anak lelaki dan perempuan terlantar yang menerima perlakuan kejam dari orangtuanya dan korban perlakuan tidak adil lainnya. Kedua warga Amerika tersebut menceritakan pengalaman mereka berikut ini.
Saat itu mendekati musim liburan tahun 1994 saatnya bagi anak2 yatim piatu untuk pertama kalinya mendengarkan cerita tradisional tentang Natal. Kami bercerita kepada mereka tentang Maria dan Yosep yang tiba di Betlehem dan ternyata tidak mendapat kamar di penginapan. Lalu pasangan ini pergi ke sebuah kandang, di mana akhirnya bayi Yesus dilahirkan dan diletakkan dalam sebuah palungan. Anak2 dan staf panti asuhan mendengarkan alur cerita dengan penuh kekaguman.Beberapa di antaranya duduk di ujung kursi tanpa sandaran, mencoba memahami setiap kata dari cerita tersebut.
Setelah selesai bercerita, kami memberi anak2 itu tiga buah karton kecil untuk membuat sebuah palungan sederhana, juga beberapa helai kertas. Anak2 mengikuti instruksi dengan menyobek kertas dan dengan hati2 meletakkan jajaran sobekan kertas di dalam palungan sebagai jerami. Guntingan kain flannel yang diperoleh dari gaun malam bekas digunakan sebagai selimut bayi. Boneka bayi pun kami sediakan dari Amerika.
Semua anak yatim piatu sibuk membuat palungan mereka, sementara saya berkeliling untuk me-lihat2 siapa tahu ada yang butuh bantuan. Semua berjalan lancar sampai saya mendapati satu meja di mana Misha kecil berada. Ia tampaknya berusia kira2 enam tahun dan telah menyelesaikan pekerjaannya. Ketika saya menengok ke dalam palungan anak laki2 itu, saya tercengang melihat ada dua bayi dalam palungan, bukan hanya satu.
Dengan cepat saya memanggil penerjemah untuk menanyakan anak itu mengapa ada dua bayi dalam palungan yang dibuatnya.Sambil melihat memandangi palungannya itu, anak itu mulai mengulangi cerita yang didengarnya tadi dengan amat serius. Untuk anak sekecil itu, yang mendengar cerita Natal hanya sekali, ia menceritakannya dengan cermat .. Sampai tiba pada bagian di mana Maria meletakkan Yesus di palungan, Misha membuat akhir cerita menurut versinya sendiri. Waktu itu ia berkata : Dan ketika Maria membaringkan bayi itu dalam palungan. Yesus memandangku dan bertanya kepada saya apakah saya punya tempat tinggal. Saya berkata kepada-Nya bahwa saya tidak punya papa dan mama, jadi saya tidak punya tempat tinggal. Kemudian Yesus berkata kepada saya bahwa saya dapat tinggal bersama-Nya. Tetapi saya bilang saya tidak bisa begitu karena saya tidak punya hadiah untuk diberikan kepada-Nya, seperti halnya yang dilakukan anak2 lain. Tetapi saya sangat ingin tinggal bersama Yesus, jadi saya berpikir, apa ya milik saya yang dapat saya gunakan sebagai hadiah.
Maka saya lalu bertanya kepada Yesus : "Jika saya memberi-Mu kehangatan, apakah hal itu merupakan hadiah yang cukup baik?" Dan Yesus menjawab:"Jika kamu memberi-Ku
kehangatan, hal itu adalah hadiah terbaik yang pernah Ku-terima." Maka saya masuk ke dalam palungan dan kemudian Yesus memandangku dan Dia berkata bahwa saya dapat tinggal bersama-Nya..., selamanya."
Ketika Misha kecil mengakhiri ceritanya matanya berlinangan penuh air mata yang menetes ke pipinya. Ia menutup mukanya dengan kedua tangannya, menelungkupkan kepalanya ke atas meja dan ia menangis ter-sedu2 sampai bahunya ter-guncang2. Anak yatim piatu yang kecil itu telah menemukan "seseorang" yang tidak akan pernah menelantarkan atau memberikan perlakuan buruk kepadanya, ... seseorang yang akan tinggal bersamanya.. . selamanya.
"Saya telah belajar dari kejadian ini," si pengajar Amerika mengakhiri ceritanya..., "Ternyata yang lebih berharga dalam hidup ini adalah: Siapa yang kumiliki bukan apa yang kumiliki!"
God Bless You !!!
Demikianlah tulis Papi ISS.
Dan saya (Papilon) berkomentar:
Daripada memiliki ataupun mendapat, menurut saya jauh lebih berharga apabila kita bisa memberi. Disaat kita dengan rendah hati dan tanpa pamrih memberi kepada orang lain, maka disitulah kita akan melihat betapa kehidupan ini sungguh penting dan berarti.
Papi RH menimpali:
Cinta kasih sama sekali bukan soal "memiliki", tetapi soal memberikan diri, tetapi juga bukan untuk dimiliki tetapi untuk digunakan, dipakai, dimanfaatkan.
Cinta yang sejati justru soal memberi kebebasan kepada yang dicintai, bukan soal menguasai, memiliki atau mengendalikan.
Konon, seperti mencintai burung, kalau sungguh cinta, biarkanlah pintu sangkar terbuka. Kalau yang dicintai memang menyadari cinta pasti dia meskipun pergi dari sangkar namun akan kembali. Memiliki seseorang adalah perbuatan yang tidak adil.
Ya, itulah antara lain topik dialog yang ada di “Papyrus, Majalah Elektronik”. Kalau sobat tertarik, silahkan buka link tersebut lewat kolom LINK TEMAN: PAPYRUS atau buka alamat PAPYRUS di: http://members7.boardhost.com/Rayman/
Gitu deh...
“SELAMAT HARI RAYA NATAL DAN TAHUN BARU”
Anton & Tina.
Wednesday, December 23, 2009
HARI IBU DAN MOTHER’S DAY, SERUPA TAPI TAK SAMA (artikel selingan).
Tentang Hari Ibu di Indonesia yang dirayakan kemarin, 22 Desember, seorang teman, Papi Ray, yang kini bermukim di Australi punya komentar begini:
Aku punya beberapa kesan mengenai arti 'Hari Ibu' ini kalo dibandingkan dengan 'Mother's Day' di negeri-negeri Barat, yang dirayakan pada hari Minggu kedua bulan Mei.
1 Arti "Ibu" di dalam kerangka kebudayaan Indonesia terasa agak berbeda daripada arti "mother" dalam penggunaan bahasa Inggris. 'Ibu', terutama dalam istilah 'ibu-ibu' atau 'para simbok' melukiskan sekedar wanita yang sudah punya anak. Kebanyakan ibu kelas menengah di Indonesia mempunyai pembantu, sehingga tugas menjadi ibu tidak se-seratus persen seperti arti "mother" di dalam konteks Barat.
2 "Hari Ibu" pada tanggal 22 Desember kurasakan seperti perayaan yang tidak terpusat kepada "ibu" sebagai seorang "pribadi", melainkan sebagai gejala nasional, sebagai gejolak bernada politik, sebagai hari-hari lain seperti 'Hari Kebangkitan Nasional'. "Hari Ibu" adalah sebuah rekayasa menggalang semangat nasional, sebagai kegiatan 'nation building'. Ini lebih-lebih kelihatan kalau orang mulai berpakaian "nasional" yang sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan menjadi "ibu", bukan?
3 Sebaliknya di Barat "Mother's Day" adalah hari yang dikhususkan untuk menghormati dan memuliakan (seorang) pribadi yang menjadi asal-usul setiap manusia, terutama setiap "aku". Aku tidak dapat ada kalau tidak lahir dari seorang "mother", yaitu "MY mother". Apalagi kalau melihat bagaimana seorang ibu di Barat harus menjadi ibu 24 jam sehari 7 hari seminggu (24/7). Tidak ada pembantu, bahkan kerap kali sang suami atau bapak anak-anak pun tidak membantu banyak dalam hal membesarkan, secara langsung dan fisik menghidupi, dan mendidik anaknya. Di dalam hal pendidikan dan persekolahan orang tua atau 'wali murid' atau 'orang tua murid' sampai ke tingkat SMA sekalipun yang bertemu dengan guru adalah ibu si anak. Jadi arti "Mother's Day" di Barat lebih bermakna dalam mengkhususkan satu hari (di pertengahan musim semi / musim gugur) sebagai penghargaan terhadap kedudukan dan martabat seorang ibu, nilai keibuan yang menjadi sarana adanya umat manusia.
Gagasan ini tidak bermaksud membandingkan jenis mana yang lebih unggul dan mana yang kurang unggul, tetapi sekedar untuk membuat perbandingan ARTI daripada perayaan yang dalam nama atau istilahnya saja adalah SAMA tetapi ISI-nya terasa sungguh amat berbeda.
Ini sekedar komentar lho, yang tentunya bisa disanggah.
Dan mengenai soal ibu ini ada sejibun lagu yang berkisah tentangnya. Apa saja hayo...?
Tuesday, December 15, 2009
ANTARA SAXOPHONE DAN PIPA CANGKLONG
Saxophone dikenal juga sebagai alat musik tiup yang berbentuk serupa pipa cangklong atau pipa tembakau (tobacco pipe). Namun nasib keduanya sungguh berrtolak belakang. Saxophone, semakin hari semakin disuka, sementara pipa cangklong kini bahkan tidak lagi dilirik orang. Apes deh nasib si cangklong...
Monday, December 14, 2009
Alunan Saxophone di Taman Surapati - Jakarta
POHON TERANG
Lucu namanya, Pohon Terang. Di tempat lain namanya masih tetap Christmas Tree, Konon di banyak daerah Barat lainnya nama pohon itu sekarang ialah Holiday Tree.
Banyak orang tidak mengetahui latar belakang "pohon terang" ini. Di belahan bumi mendekati kutub utara pohon yang penuh janji hanyalah Tannenbaum, pohon denneboom, fir trees, yang selalu berwarna hijau sepanjang tahun. Pohon lainnya mati, tetapi seperti dalam nyanyian Jerman "O Tannenbaum" pohon ini terus hidup, terus hijau sepanjang tahun, terus memberikan janji bahwa setelah malam gelap panjang yang tiba sekitar pukul dua-tiga siang dan berakhir pada jam 9-10 hari berikutnya akirnya akan bertambah panjang setelah winter solstice (23/12).
Arti perayaan pohon ini, dari kebiaasaan kafir Eropa, ialah bahwa harapan akan terang matahari yang lebih panjang nanti akan datang lagi. Anda mungkin pernah lihat bagaimana orang AS menghiasi rumah mereka dengan jumlah lampu yang berlebih-lebihan.
Hari ini kami juga mulai mengeluarkan pohon Natal kami dari simpanannya, besok kami akan mulai memasang berbagai hiasan dan lampu. Kita tidak bisa berbuat lain, anak cucu ngertinya kalau Natal kita ya harus memasang pohon Natal, (untuk meletakkan hadiah-hadian pada kaki pohon ini agar bisa membuat mereka ngiler akan hadiah yang mereka inginkan jauh sebelum hari ini).
Begitulah cerita papi Ray, seorang sahabat pena dari Australia tentang pohon terang, pohon Natal.
(Gambar dari Google Image)
BABY SAX VALENTINE
Saxophone berukuran mungil (Baby Sax) semacam ini tersedia di Rumah Tiup. Ada warna emas dan warna perak. Masih hangat, baru keluar dari pabrik (Taiwan). Harga sama temen 5 jutaan. Kelewat mahal, ditawar saja. Silahkan hubungi langsung bu Tina (Valentine) di nomor telponnya.
O ya, bisa dikredit..., pakai "Kartu Kredit". Jadi tak perlu lama2. Sekarang kepengin, langsung ambil saja. Gitu loh...
Sunday, December 13, 2009
BLACK MAMBA
Tampilan luar ular Black Mamba dari Africa ini biasa saja. Namun kalau kita melihat "isi" di dalamnya sangatlah istimewa. Rongga mulutnya berwarna hitam sementara kulit tubuhnya berwarna kelabu muda. Dan di mulut yang legam itu tersimpan "bisa" yang kuat, yang sangat mematikan (bagi mangsanya).
Keistimewaan Mamba Hitam ini nyaris serupa dengan istimewanya Kayu Hitam Afrika (Grenadilla). Pohon Grenadilla tampil dengan kulit luar berwarna krem serupa kulit boneka barbi, sementara kayunya berwarna hitam. Berat jenis kayu hitam afrika sebesar 1,2 atau layak disebut sebagai kayu paling kuat sedunia. (Bandingkan dengan berat jenis kayu jati yang hanya sebesar 0,6 atau kayu ebony yang sebesar 1,0).
Saking kuatnya maka kayu hitam afrika dipakai orang untuk membuat alat musik tiup sebangsa klarinet ataupun bas klarinet.
Dan lihatlah, leher bas klarinet dalam gambar itu melengkung persis seperti leher ular black mamba. Bedanya adalah leher ular itu melengkung siap memagut dan membunuh mangsa, sementara leher bas klarinet itu melengkung siap untuk kita pagut, kita tiup dan membuat hidup ini lebih hidup, tralala en trilili.
Gitu deh...
Saturday, December 12, 2009
Pakde Sukro ngeSax
SAXOPHONE DIIRINGI GITAR
Wednesday, December 9, 2009
LOVE SONG, Lagu Cinta Sepanjang Masa
Banyak benar lagu2 cinta yang bisa kita lantunkan dengan saxophone, baik tenor, alto maupun sopran. Dan saya sendiri saat bermain solo dengan sax tenor, biasa menggunakan kunci nada yang sederhana saja yaitu: kunci nada (piano) Bes atau C atau F dan G.
Apabila diterapkan di tenor saxophone (dan juga soprano), maka kunci nada piano itu harus kita naikkan satu nada, artinya tenor saxophone harus bermain di posisi C saat piano bernada Bes, atau tenor saxophone di posisi A ketika piano bernada G dst. (Jadi saya biasa pakai posisi C, D, G dan A)
Dan inilah beberapa lagu yang biasa saya mainkan di posisi A (tenor sax):
Misty, Unforgetable, When I Fall in Love, What Wonderfull World, My Way, If, Memory, Yesterday, Love Letter in The Sand, Can't Help Falling in Love with You, The End of The W, Close to You, How Deep is Your Love dll. (Posisi A ini bisa kita ganti dengan posisi G)
Sementara lagu2 berikut ini saya mainkan di posisi C (posisi netral pada tenor saxophone atau nada Bes pada piano):
The Shadow of Your Smile, Autumn Leaves, I'm in the Mood for Love, Just The Way You Are, The Greates Love of All dsb. (Posisi C ini bisa juga kita ganti dengan posisi D)
Sudah kenal khan dengan lagu2 itu, lagu cinta abadi sepanjang masa.
(Gambar asli dari Google Image dan sdh direkayasa)
BEBEK KARET
Tuesday, December 8, 2009
PERMATA, SIAPA YANG TAK SUKA?
Monday, December 7, 2009
IMAGINE
BARITON SAX
Wednesday, December 2, 2009
Wedding Song: What a Wonderful World
"What a Wonderful World"
(George David Weiss and Bob Thiele)(1967)
I see trees of green, red roses too
I see them bloom for me and you
And I think to myself
What a wonderful world
I see skies of blue and clouds of white
The bright blessed day, the dark sacred night
And I think to myself
What a wonderful world
The colors of the rainbow, so pretty in the sky
Are also on the faces of people goin' by
I see friends shakin' hands, saying "How do you do!"
They're really sayin' "I love you".
I hear babies cry, I watch them grow
They'll learn much more than I'll ever know
And I think to myself
What a wonderful world
Yes I think to myself
What a wonderful world.
(George David Weiss and Bob Thiele)(1967)
I see trees of green, red roses too
I see them bloom for me and you
And I think to myself
What a wonderful world
I see skies of blue and clouds of white
The bright blessed day, the dark sacred night
And I think to myself
What a wonderful world
The colors of the rainbow, so pretty in the sky
Are also on the faces of people goin' by
I see friends shakin' hands, saying "How do you do!"
They're really sayin' "I love you".
I hear babies cry, I watch them grow
They'll learn much more than I'll ever know
And I think to myself
What a wonderful world
Yes I think to myself
What a wonderful world.
Wedding Song: WHEN I FALL IN LOVE
Lagu "When I Fall In Love" ini cocok juga dilantunkan dengan saxophone di acara wedding. Begitu juga lagu "What a Wonderful World" ataupun lagu "Unforgettable", dan juga lagu Endless Love, Everything I Do, dan lagu Forever in Love.
Gitu deh...
Dan lirik lagu "When I Fall In Love" kayak gini:
When I Fall in Love
(Edward Heyman/Victor Young) (1952)
When I fall in love
It will be forever
Or I'll never fall in love
In a restless world like this is
Love is over before it's begun
And too many moonlight kisses
Seem to cool in the warmth of the sun
When I give my heart
It will be completely
Or I'll never give my heart
And the moment I can feel that
You feel that way too
Is when I fall in love with you
Subscribe to:
Posts (Atom)