Lokasi Pengunjung Blog

Wednesday, March 30, 2011

KISAH SERULING YANG DIGEMARI WANITA

Suaranya jernih menghanyutkan. Membawa kita ke suasana dan tempat yang damai dan tenang. Hmmm…uenak tenaaan. Seruling, suling atau flute memang selalu enak. Enak didengar, enak dimainkan. Apa yang membuatnya jadi begitu istimewa?
---------------------------------------------------------

Suara tiupan seruling atau flute bak buluh perindu. Mengalun merdu ketika mengiringi Sundari Sukoco menyanyi lagu keroncong. Sundari memang oke, tapi musik keroncong tanpa suara flute…, no way. Bukan hanya keroncong. Ia juga eksis dalam musik klasik, pop maupun jazz. Berkat alunan suaranya, musik-musik itu melahirkan nuansa romantis, lembut, hangat, berbunga-bunga. Indah.

Bodinya yang lurus dan langsing memberinya kesan feminin. Bukan macho seperti sosok saxophone, alat tiup kerabat dekatnya, yang bertubuh lebih besar bahkan dengan corong yang mengacung. Gerak bibir sang peniup menambah kesan feminin. Formasi bibir peniup flute terlihat seperti bibir sedang tersenyum. Apalagi tidak ada sesuatupun yang perlu di emut dan mengganjal mulut seperti ketika meniup saxophone. Posisi senyum senantiasa itulah yang membuatnya nampak manis.

Apakah gara-gara itu flute lantas banyak diminati wanita? Entahlah. Yang pasti nama-nama pemain flute yang bergender wanita bertebaran di seantero dunia. Diantara mereka ada: Lisa Beznosiuk, Sharon Bezaly, Stefanie Bieber, Helen Bledsoe, Patrice Bocquillon, Andrea Brachfeld, Barbara Brown, Jane Bunnett, Brigitte Buxtorf, Maria Canales, Lucy Cartledge, Kathleen Chastain, dan Ann Cherry. Namun tak sedikit pula pria yang senang meniupnya. Pria peniup flute berkelas dunia itu misalnya Andreas Adorjan, Robert Aitken, David Amram, Yossi Arnheim, Peter Bacchus, Edward Beckett, dan Sebastian Be.

Flute memang telah mendunia dengan nama dan bentuk yang berbeda. Di Jawa dikenal sebagai suling. Di daerah lain disebut foi, sarunai, saluang, taratoit dan banyak lagi sebutan lainnya. Di China disebut Dizi, di Vietnam Ding Tac Ta, di Venezuela Muhusenoi.
Piranti sumber bunyinya ada yang berupa lubang, ada pula yang serupa sempritan. Ada yang ditiup dalam posisi vertikal, diagonal. ataupun horizontal, sejajar kumis kita. Bahkan ada yang ditiup menggunakan hidung seperti alat musik selingut dari Serawak, Malaysia. Bahannya juga macam-macam. Ada yang dibuat dari tulang, tanduk, kayu atau bambu. Material kayu seperti grenadilla, ebony, ataupun rosewood, sering digunakan di masa lalu. Dari sinilah alat musik tiup itu memperoleh posisi dalam kelompoknya sebagai alat musik tiup kayu atau woodwind, satu grup dengan saxophone, clarinet, oboe dan fagot.

Seiring jaman sulingpun berkembang. Berkembang pesat terutama di negara Eropa, seperti Jerman, Perancis, Inggris dan sekitarnya. Baik model, bahan, jumlah lubang maupun diameternya, sistim penjarian dan lain-lain kini telah menjadi sempurna. Bahan kayu telah diganti metal. Gonta-ganti nada bukan lagi hambatan. Tampangnya kini sungguh keren.

Suling moderen tersebut biasa kita sebut Flute, mengadopsi kata Flare dari bahasa Yunani atau to flow dalam bahasa Inggris, Sosoknya terbagi dalam 3 bagian yaitu kepala, badan dan kaki. Keadaan fisiknya tidak layu dan lemas tapi lurus dan kaku mirip pipa pralon. Panjang sekitar 67 cm. Diameternya tidak sebesar mulut kita, tapi cuma selingkaran uang logam recehan, kira-kira 2 cm. Bobotnya ringan antara 400 sampai 600 gram. Dibuat dari bahan metal, kuningan, perak, tembaga, emas, platina atau campurannya. Puncak kepalanya buntu, tersumbat, sementara ujung lainnya bolong plong.

Di sisi kepala terdapat satu lubang, yaitu lubang tiupan. Bentuknya tidak bulat tapi sedikit oval. Di bagian badan serta kaki penuh lubang pengatur nada serta pernak-pernik lain seperti pilar, tombol, per, roller, klep dsb. Aneka komponen itu melekat di sana lantaran dipatri dan disekrup atau bisa juga sekedar nyelip.

Selain flute consert yang berukuran normal, terdapat pula flute ukuran mini yang disebut piccolo. Flute bongsor bernada rendah juga ada, disebut flute alto atau flute bas. Saking panjangnya, bagian lehernya perlu ditekuk supaya tidak klowor-klowor kepanjangan.

SULING BAMBU MASIH MERDU

Siapa sangka benda serupa suling yang biasa dipakai mengiringi penyanyi dangdut berjoget itu ternyata sudah ada sejak jaman dulu. Seserpih suling terbuat dari tulang Mammoth ataupun Beruang telah ditemukan oleh para arkeolog di berbagai daerah seperti Slovenia dan Jerman. Ditaksir usianya mencapai puluhan ribu hingga ratusan ribu tahun. Ternyata masyarakat purba, manusia purba Neanderthal, sudah mengenal dan menyukainya.

Sebelum sampai pada tampilannya seperti sekarang, flute telah melalui berbagai tahap perubahan. Diawali oleh Jacques Hotteterre (1680-1761) yang berhasil menambahkan satu lubang sebagai nada d#. Dengan itu, lubang nada yang semula cuma 6 kini bertambah satu menjadi 7. Dia juga menulis buku pada tahun 1707, berjudul 'Les Principles de la Flute Traversiere'.

Di era berikutnya para kreator melanjutkan upaya penambahan satu demi satu lubang kunci nada baru. Tambah 1, 4, 5, hingga 9 lubang atau lebih. Namun menggali lubang tanpa diikuti oleh perbaikan mekanisme pengaturannya hasilnya malah bikin pusing, malah bikin alat jadi sulit ditangani. Kerepotan seperti itu berlangsung cukup lama, hingga muncul kemudian seorang tokoh pembaharu kelahiran Munich bernama Theobald Boehm (1794-1881). Boehm membuat perubahan radikal. Ukuran lubang-lubang dibuatnya lebih besar, posisinya diatur kembali dan mekanisme tombol diperbaiki. Benda yang merepotkan itu disulapnya menjadi alat musik yang mengenakkan.

Tahun 1832 Boehm menyempurnakan tehnik pengaturan jari untuk mengatur nada dikenal dengan istilah Boehm System. Dan pada tahun 1847 dilansirnya satu disain flute, bukan dari kayu tapi dari perak dengan 15 lubang nada serta 23 tombol pengatur. Flute metal itu disempurnakan lagi pada tahun 1878. Batang yang semula kerucut diubahnya menjadi silindris (silinder sama rata).

Flute metal silindris yang dikembangkannya segera menjadi acuan bagi hampir semua model flute di masa itu dan di kemudian hari. Tidak hanya itu saja, sistim Boehm telah diadopsi pula oleh alat musik tiup lain seperti clarinet, oboe serta saxophone. Dengan mekanisme Boehm maka clarinet besar, oboe besar serta saxophone besar dapat diproduksi.

Orang tidak lagi terikat pada keberadaan lubang nada yang hanya sekecil ujung jari, tapi sudah bebas membuat lubang yang sebesar-besarnya. Lubang-lubang nada yang besar itu kemudian ditutup dengan klep dan katup. Katup kemudian dihubungkan dengan gagang sehingga dapat dikendalikan dari jarak jauh.

Hak paten untuk flute metal tersebut didaftarkan pada tahun 1847 di Perancis dan Inggris. Perusahaan Godfroy & Lor di Paris serta Rudall & Rose di London memperoleh lisensi.
Di Amerika flute Boehm tidak dipatenkan. Pada tahun 1880 William S. Haynes membangun pabrik dan mulai memproduksi flute, mencontoh flute metal buatan Boehm. Banyak pengusaha lain yang kemudian meniru langkah tersebut, ikut mendirikan industri di Boston, dan Elkhart.

Dengan hadirnya flute metal buah cipta Boehm tidak berarti suling sederhana, seperti suling kayu ataupun bambu lalu ditinggalkan. Musik tradisional Irlandia masih menggunakan suling kayu. Begitu juga di Asia. Di Indonesia, kita masih dapat menikmatinya di berbagai kesenian musik daerah. Suling-suling tradisional itu, meskipun terbuat dari bambu bukan berarti suaranya tidak merdu. Suling bambu itu tetap bersuara merdu dan mendayu.

Dibanding yang moderen, suling bambu memang memiliki banyak kekurangan. Keawetan material bambu sangat diragukan. Akurasi nada susah didapatkan, artinya not bisa melenceng kesana-kemari. Jari terpaksa harus dimanipulasi supaya diperoleh nada yang tepat. Jumlah lubang nada sangat terbatas, kurang luwes menghadapi pergeseran dasar nada. Nada dasar berganti, sulingpun harus diganti. Sehingga kita tidak heran lagi ketika melihat seorang pemain suling ndangdut sibuk memilih suling dari dalam tas kreseknya.

Kelemahan suling bambu dapat kita maklumi, karena kebanyakan mereka dibuat hanya dengan ilmu kira-kira, bukan matematika. Begitupun kita sudah bisa bersenang-senang dengannya, memainkan atau sekedar mendengarkan, bergaya dan berjoget persis seperti Neanderthal tempo dulu.

YUK, NYULING

Meniup botol, meniup suling atau meniup flute caranya kira-kira sama. Bibir kita posisikan menempel di pinggir lubang tiupan. Formasi bibir kita bentuk, bukan seperti orang sedang manyun tapi layaknya kita tersenyum. Dari celah bibir yang kini telah merapat ketat itu, udara kita tiupkan tepat kedalam lubang. Begitu teorinya. Kita bisa praktek dengan mencoba meniup mulut botol kosong, sampai tol kosong itu berbunyi nyaring.

Mula-mula tentu ngos-ngosan dan kepala terasa pening. Itu lantaran kekurangan oxygen. Nyebul penuh semangat boleh saja, tapi jangan lupa untuk bernapas. Dalam urusan tiup meniup ini pengaturan napas menjadi hal yang penting. Kontrol pernapasan yang baik nantinya akan menghasilkan kualitas tiupan yang baik pula. Terus terang ini memang tidak gampang. Coba lagi tiup botol itu. Lakukan dengan lebih santai, lakukan seperti ketika kita sedang hepi, bersiul sembari mandi pagi. Sukses meniup botol, kita bisa melanjutkan dengan meniup suling beneran. Tiup dan buka tutup lubang ataupun tombol2 pengatur nadanya. Bisa deh…

Meskipun suling sederhana telah berubah jadi flute moderen, bambu dan kayu telah berganti metal, namun tehnik membunyikannya masih tetap sama. Jejak purbakala ternyata tidak dapat dihapus dan tetap melekat erat pada suling itu dari masa ke masa. Semua benda itu baik yang purba maupun yang kontemporer harus ditiup pas di lubangnya agar bersuara. Harus pas di lubang sasaran, tidak boleh meleset.

Gitu aja…

Oleh: Yo. Anton Prihardianto

No comments: