Lokasi Pengunjung Blog

Wednesday, March 30, 2011

SI HITAM BERSUARA MERDU

Di balik suara merdu klarinet dan oboe ternyata tersimpan hampir seabad jeritan pohon grenadilla yang terpanggang di teriknya benua Afrika. Pohon yang dikenal dengan nama kayu hitam afrika itu kini terancam punah....
---------------------------------------------------------

Enak betul, malam Minggu nonton acara orkestra, di TV, gratis. Serombongan pemusik terlihat beramai-ramai memainkan beragam peralatan musik. Ada yang ditiup, dipukul, dipetik atau digesek. Mereka semua serius menyimak partitur sambil sesekali matanya melirik sang konduktor yang bersemangat memberi aba-aba. Kedua tangan konduktor mengepak-ngepak seakan ingin terbang bersama nada yang berhamburan keluar dari instrumen musik yang dimainkan anggotanya.

Di close-up, tampak seorang pemain sedang meniup klarinet, bergantian dengan peniup oboe di sebelahnya. Kedua alat musik itu lurus seperti tongkat komando, warnanya hitam dengan pernak-pernik metal di sana-sini, berkesan eksotis. Suaranya merdu bak buluh perindu.

Semula saya mengira, batang hitam itu adalah kayu eboni atau sonokeling seperti yang kita kenal dan ada di negeri kita. Cirinya mirip, berwarna gelap, bertekstur halus dan berserat lurus seperti rambut direbonding. Sayang seribu sayang, kayu hitam itu ternyata bukan dari Indonesia melainkan dari Afrika, Dalam industri musik, kayu hitam afrika itu populer dengan sebutan grenadilla.

Grenadilla memang bukan kayu sembarangan. Tingkat kekerasan, keuletan, kepadatan, serta kestabilannya sangat tinggi, melebihi kayu hitam kandidat lain. Teksturnya halus, seratnya lurus, dan sifat akustiknya bagus. Tampilannya juga oke, hitam manis.

Sudah layak dan sepantasnya kalau grenadilla kemudian terpilih sebagai bahan utama untuk membuat alat musik yang ekstra sensitif seperti klarinet dan oboe. Grenadilla sang kayu pilihan itu patut dipilih karena memiliki karakter yang serba prima. Klarinet dan oboe kualitas terbaiklah yang kemudian dapat dihasilkan olehnya.

SOSOK GRENADILLA.

Jangan kita membayangkan pohon yang besar, tinggi menjulang di belantara hutan dengan seribu monyet berkejaran di dahan serta rantingnya. Sosok pohon grenadilla itu kurus dan kecil. Umur 70 tahun, tingginya paling banter cuma 9 meter dengan diameter seukuran pinggang. Hidupnya di padang kerontang Afrika, cari makan saja susah, membuatnya tumbuh sangat lambat. Batangnya menggeliat, seakan sering menahan lapar. Daunnya kecil, kadang rontok.

Tampilan luarnya sama sekali tidak menarik. Bahkan monyetpun memandangnya hanya dengan sebelah mata. Mereka tidak tahu bahwa di balik sosok yang kurang flamboyan itu terdapat kekuatan sekaligus kelembutan yang luar biasa.

Monyet tidak berminat, tapi oranglah yang tergila-gila. Saking gilanya, orang nekat foya-foya tebang sana tebang sini. Asyik menebangi, hingga lupa melestarikan. Akibatnya pohon nyaris habis, kini tersisa hanya cukup untuk dua dasawarsa. Sungguh disayangkan, pohon sekeras baja yang telah membuat rayap pun ngacir khawatir ngilu itu, kini terancam punah.

Kulit pohon grenadilla berwarna coklat susu seperti kulit boneka barbie, sementara kayunya berwarna hitam pekat mirip dakocan. Oleh kalangan ahli botani pohon itu diberi nama Dalbergia Melanoxylon. Melanos artinya hitam. Bukan lantaran terik matahari Afrika yang membuatnya berwarna gosong seperti itu, tapi karena adanya unsur hitam yang dikandungnya. Persisnya unsur apa, sengaja tidak dipaparkan di sini karena ini menyangkut "ilmu hitam", takutnya malah bikin runyam. Harap maklum.

Grenadilla tumbuh di benua Afrika, dari Ethiopia sampai Angola, dari Senegal di sebelah barat hingga Tanzania di bagian timur. Paling banyak terdapat di Mozambique dan Tanzania. Grenadilla adalah sebutannya dalam bahasa daerah Mozambique. Daerah lain menamainya Mpingo. Nama aliasnya masih berderet panjang, kalau ditulis semua akan menjadi seperti litani. Puluhan gelar padahal yang dimaksudkan ya itu-itu juga.

Jenis pohon yang satu ini tumbuh pelan. Seusia kita pensiun, pohon itu masih tergolong balita. Kita mulai tremor dan pikun, grenadilla baru beranjak remaja. Kita menua dan lalu almarhum, pohon itu baru bisa disebut dewasa, siap dipanen. Bahasa kasarnya, bila kita menanam, anak cucu kita yang akan memanen.

Kayu terbaik, kelas wahid, disiapkan sebagai bahan untuk membuat alat musik klarinet dan oboe. Kelas dua dibuat mebel, patung dan sebagainya. Sisanya oleh penduduk setempat dipungut dan dibikin menjadi arang atau kayu bakar.

Sebagian besar musisi papan atas merasa bahwa klarinet dan oboe yang dibuat dari kayu grenadilla memiliki suara yang lebih indah dibanding bahan lain. Demikian juga soal keawetan, keindahan serta kekuatannya. Grenadilla memang belum ada tandingan, dari dulu hingga sekarang.

Faktor awet dan kuat ini memang vital. Bayangkan seandainya klarinet dibuat dari kayu kelapa. Belum lama dimainkan mungkin sudah keropos. Atau seandainya oboe terbuat dari batang tebu. Boro-boro ditiup, karena manis dan empuk, mungkin malah cuma diisep-isep. Sekali pakai bakal tinggal sepahnya saja. Habis manis, sepahpun dibuang.

Dari Afrika, kayu itu diangkut ke Eropa, ke pabrik pembuat alat musik tiup yang banyak terdapat di Perancis dan sekitarnya. Hal ini sudah berlangsung sejak lama. Hanya kayu yang benar-benar berkualitas yang terpakai. Saking pilih-pilih, dari satu pohon paling pol cuma bisa diperoleh 10% nya saja. Dari jumlah yang sedikit itu, seperlima bagiannya lagi akan rusak di dalam proses produksi.

Tergambar betapa sedikit dan langkanya bahan itu. Tak heran kalau grenadilla kemudian menjadi salah satu kayu mahal di dunia. Per meter kubik berharga ratusan juta rupiah. Bandingkan dengan kayu kamper yang biasa kita beli di toko material. Beda jauh! Sebuah kursi malas ditambah sebatang tongkat dari kayu hitam afrika mungkin setara dengan nilai sebuah sepeda motor Harley Davidson bikinan Amerika.

PERLU 15 BULAN.

Tak cuma bagi manusia. Grenadilla juga berguna bagi komunitas savana Afrika. Akarnya memiliki benjolan yang mampu mengikat nitrogen sehingga menyuburkan tanah. Daunnya merupakan gantungan hidup satwa herbivora, misalnya jerapah. Kulit kayunya digunakan untuk menyetop diare. Singa juga suka memanfaatkan kayu itu untuk menggaruk punggungnya yang gatal. Akarnya dibakar dan asapnya dihirup, katanya bisa mengusir tidak hanya nyamuk tapi juga mengobati sakit kepala dan flu. Masih banyak pengobatan tradisional di wilayah Afrika yang menggunakan kayu hitam ini sebagai bahan dasarnya. Tak heran grenadilla lalu dielu-elukan sebagai Pohon Nasional Tanzania.

Sayangnya, ketersediaan pohon yang memiliki nilai strategis ini mulai menipis. Kaderisasi seharusnya dilakukan segera. Namun literatur yang berisi penelitian soal tanaman ini masih sedikit. "Hal itu menyulitkan kami untuk merancang strategi praktis konservasi," kata Steve Ball, co leader tim yang melakukan ekspedisi Tanzanian Mpingo 98, satu dari tiga ekspedisi yang dilakukan untuk merancang sistem konservasi grenadilla.

Dunia baru memperhatikan kesedihan grenadilla ketika tanaman ini difilm dokumenterkan oleh BBC, dengan tajuk Pohon Musik pada tahun 1992. Film itu ditayangkan di AS dalam acara Nature. Tahun 1996 pun didirikanlah Proyek Konservasi Kayu Hitam Afrika oleh James Harris, tukang bubut dari Texas, AS, dan Sebastian Chuwa, ahli botani dari Moshi, Tanzania bagian utara.

Mimpi awal proyek ini adalah menanam grenadilla dalam area seluas 1 acre (sekitar 4.000 m2) yang disumbangkan oleh sebuah desa di Moshi. Sejak 1986 Chuwa sudah berupaya menyelamatkan grenadilla tanpa sumbangan dana dari luar. Bersama Harris ia menemukan fakta bahwa perlu waktu 15 bulan bagi semaian grenadilla untuk bisa ditanam di alam bebas. Saat itu ia sudah tahan terhadap panas Matahari dan serangan serangga yang bisa mengancam kelangsungan hidupnya.

Jika bisa bertahan, butuh 70 – 100 tahun lagi bagi grenadilla untuk bisa diolah menjadi alat musik yang bersuara merdu. Jika gagal, klarinet dan oboe yang menemani malam Minggu kita bakalan bersuara memelas dan sumbang deh…

IMITASI

Klarinet dan oboe yang terkenal di antaranya bermerek Buffet Crampon, Henri Selmer dan Marigaux. Pabrik-pabrik itu spesial membuat produk berkelas berbahan grenadilla. Segmennya bukan pemain amatiran, tapi para profesional yang memang membutuhkan produk berkualitas, agar dapat tampil prima.

Produsen lain ada yang selain bikin yang asli juga memproduksi klarinet dan oboe berbahan imitasi, dari remah-remah grenadilla dicampur resin atau dari bahan ebonite (bahan plastik yang dihitamkan sehingga menyerupai eboni).

Tentu saja yang imitasi ini harganya jauh lebih murah diperuntukkan bagi pelajar atau para pemula. Tarip pelajar diberlakukan agar dapat dijangkau oleh semua calon pelajar dan penggemarnya, supaya mereka jangan cuma ngiler.

KAYU HITAM LOKAL.

Kayu hitam dalam negeri seperti sonokeling (Dalbergia Latifolia) yang banyak terdapat di Jawa maupun eboni (Diospyros Celebica) di Sulawesi, nasibnya tidak seberuntung grenadilla (Dalbergia Melanoxylon) yang berhasil terpilih sebagai bahan utama pembuat bodi klarinet serta oboe kualitas nomer satu. Apa mau dikata.

Meskipun tampilan luar nyaris sama, tapi ternyata kualitaslah yang menentukan. Kayu-kayu hitam tersebut satu sama lain berbeda tingkat kepadatan, berat serta kekuatannya. Itu semua tercermin lewat angka specific gravity nya. Grenadilla memiliki angka tertinggi yaitu 1,12. Eboni 1,0 sonokeling 0,85 dan sebagai pembanding, kayu jati 0,59. Angka 1 ke atas termasuk kategori kayu sangat kuat dan keras. Di bawah angka itu berarti sedang-sedang saja.

Menyadari kalau kalah bersaing dengan si hitam dari Afrika, sonokeling dan eboni Indonesia memilih diam membisu. Tidak jadi klarinet alias tidak bersuara, tidak apa-apa. Ora pateken. Toh masih bisa jadi produk lain.

Gitu deh…

Oleh: Yo. Anton Prihardianto

No comments: