Lokasi Pengunjung Blog

Tuesday, November 25, 2008

Mitoni..., satu peristiwa seribu makna.

“MITONI”
SATU PERISTIWA SERIBU MAKNA
Oleh: Anton Prihardianto

Mitoni berbeda dengan ngidoni. Yang satu peristiwa gembira menyambut akan lahirnya seorang anak manusia, yang lain peristiwa peludahan serta penghinaan terhadap sesama manusia. Dan upacara MITONI atau selamatan yang menandai tujuh bulan usia kehamilan itu begitu indah menarik dan mengandung seribu makna. Peristiwanya selalu berbunga-bunga sekaligus mendebarkan, karena tidak lama lagi, sepasang temanten akan segera menjadi nyokap dan bokap, sepasang papa dan mama akan segera menjadi kakek dan nenek. Mbah kakung en mbah putri akan segera menjadi eyang buyut dan seterusnya.

ADAT JAWA
Wong Jowo atau orang Jawa itu kreatif dan pandai memaknai segala sesuatunya. Telinga ini dibilangnya “kuping”, diartikan sebagai sesuatu yang kaku njepiping, sesuatu yang kaku dan kaku. “Cengkir” alias kelapa muda diterjemahkan sebagai kencenging pikir atau tekad yang keras. “Tebu” diartikan sebagai antebing kalbu.”Pisang ayu” disimbolkan sebagai harapan akan kehidupan yang tata tentrem kerta rahayu, kehidupan yang indah, bahagia, tentram dan sejahtera.

Para pahlawan disebut kusuma bangsa atau bunga bangsa, sementara para koruptor dicap sebagai kusuma bangsa...tttt!. Putri solo yang lemah gemulai diibaratkan lumakune koyo macan luwe, berjalan kalem seperti harimau lapar, sementara putri yang sedang hamil tua dikatakan seperti bulus angrem, seperti kura-kura sedang mengeram.

Begitu luasnya daya imajinasi itu sehingga melahirkan banyak ragam tata upacara adat yang sarat dengan makna simbolik, di antaranya yang menandai siklus kehidupan manusia sejak masa pra kelahiran. Dan salah satunya adalah upacara memperingati usia kehamilan tujuh bulan yang biasa disebut “mitoni” itulah.

Mitoni berasal dari kata pitu yang artinya angka tujuh. Dasar kreatif, kata bilangan itu kemudian dipakai oleh orang Jawa sebagai simbol yang mewakili kata kerja. Pitu menjadi pitulungan, bermakna mohon berkat pertolongan dari Yang Maha Kuasa.

Usia kehamilan tujuh bulan oleh orang Jawa dinamai SAPTA KAWASA JATI. Sapta-tujuh, kawasa-kekuasaan, jati-nyata. Pengertiannya, jika Yang Maha Kuasa menghendaki, dapat saja pada bulan ketujuh bayi lahir sehat dan sempurna. Bayi yang lahir tujuh bulan sudah dianggap matang alias bukan premature. Namun apabila pada bulan ketujuh itu bayi belum lahir, maka calon orang tua atau eyangnya akan membuat upacara mitoni, yaitu upacara slametan atau mohon keselamatan dan pertolongan kepada Yang Maha Kuasa agar semuanya dapat berjalan lancar, agar bayi didalam kandungan beserta ibunya tetap diberi kesehatan serta keselamatan….

PELAKSANAAN
Tahap pelaksanaan upacara mitoni berurutan, bermula dari siraman, brojolan dan terakhir pemakaian busana. Sangat cocok dilaksanakan pada sore hari, ngiras mandi sore. Dan biasanya dihadiri oleh segenap sanak kadang, para tetangga serta handai taulan.

TAHAP SIRAMAN
Siram artinya mandi. Siraman berarti memandikan. Dimaksudkan untuk membersihkan serta menyucikan calon ibu dan bayi yang sedang dikandung, lahir maupun batin. Siraman dilakukan di tempat yang disiapkan secara khusus dan didekor indah, disebut krobongan. (Atau bisa juga dilakukan di kamar mandi?).

Dan sesuai tema, jumlah angka tujuh atau pitu kemudian dipakai sebagai simbol. Air yang digunakan diambil dari tujuh sumber, (atau bisa juga dari air mineral berbagai merek?), yang ditampung dalam jambangan, yaitu sejenis ember bukan dari plastik tapi terbuat dari terakota atau kuningan dan ditaburi kembang setaman atau sritaman yaitu bunga mawar, melati, kantil serta kenanga. Aneka bunga ini melambangkan kesucian.

Tujuh orang bapak dan ibu teladan dipilih untuk tugas memandikan. En seolah tanpa saingan, yang pasti terpilih adalah calon kakek dan neneknya.

Tanpa mengenakan tetek bengek asesoris seperti anting, ataupun gelang akar bahar, jadi hanya mengenakan lilitan jarit (kain batik), calon ibu dibimbing menuju ke tempat permandian oleh pemandu atau dukun wanita yang telah ditugasi.
Siraman diawali oleh calon kakek, berikutnya calon nenek, dilanjutkan oleh yang lainnya. Dilakukan dengan cara mengguyurkan air penuh bunga itu ke tubuh calon ibu dengan gayung yang terbuat dari batok kelapa yang masih berkelapa alias masih ada dagingnya.

Bekas bunga yang menempel di sekujur badan si terguyur, dibersihkan dengan air kendi. Kendi kemudian dibanting kelantai oleh calon ibu hingga pecah. Semua hadirin mengamati. Jika setelah pecah cucuk atau paruh kendi masih terlihat mengacung, hadirinpun akan berteriak: “ Cowok! Laki! Jagoan! Harno!” dan komentar-komentar lain yang menggambarkan bahwa sang anak nanti bakal lahir cowok. Namun jika kendi pecah berantakan tanpa cucuk yang utuh, dipercaya bahwa anak yang lahir nanti bakalan…, cewek.

Acara siraman ini bisa berlangsung sangat meriah. Para tamu berdesakan ingin melihat dan ramai berkomentar, sementara sang MC dengan full semangat menyiarkan berita di seputar pandangan mata.

Siraman selesai, calon ibu yang basah kuyup dari ujung rambut hingga ujung kaki segera dikeringkan dengan handuk plus hair dryer supaya tidak masuk angin.

BROJOLAN
Calon ibu kini berbusana kain jarit yang diikat longgar dengan letrek yaitu sejenis benang warna merah putih dan hitam. Warna merah melambangkan kasih sayang, putih melambangkan tanggung jawab calon bokap bagi kesejahteraan keluarganya. Warna hitam melambangkan kekuasaan Yang Maha Kuasa yang telah mempersatukan cinta kasih kedua orang tuanya. (Kalau tidak ada letrek..., janur pun jadi).

Calon nenek memasukkan tropong (bagian dari alat tenun tradisional) ke dalam lilitan kain jarit si calon ibu, kemudian tropong dijatuhkan kebawah. Ini dimaksudkan sebagai pengharapan agar proses kelahirannya kelak, agar sang bayi dapat mbrojol lahir dengan lancar. (Tidak ada tropong..., telur ayam pun jadi).

Dilanjutkan dengan acara membrojolkan atau meneroboskan dua buah kelapa gading lewat lilitan kain jarit yang dikenakan oleh calon ibu. Sepasang kelapa gading tersebut biasanya ditato/ digambari Kamajaya dan Dewi Ratih atau Harjuna dan Sembadra atau Panji Asmara Bangun dan Galuh Candra Kirana. Para selebriti perwayangan tersebut dikenal berwajah cantik dan ganteng. Dengan gambar2 itu diharapkan agar anak yang lahir kelak bisa tampil keren seperti para tokoh itu. Kelapa yang mbrojol ditangkap oleh salah seorang ibu untuk nantinya diberikan kepada calon bapak.

Calon bapak bertugas memotong letrek yang mengikat kain jarit si calon ibu tadi dengan keris yang ujungnya telah diamankan/ditutupi kunyit, atau bisa juga menggunakan parang yang telah dihiasi untaian bunga melati. Ini melambangkan kewajiban suami untuk memutuskan segala rintangan dalam kehidupan keluarga.

Setelah itu calon bapak akan memecah salah satu buah kelapa bertato tadi dengan parang, sekali tebas. Apabila buah kelapa terbelah menjadi dua, maka hadirin akan berteriak:”Perempuan!” Apabila tidak terbelah, hadirin boleh berteriak:”laki-laki!” Dan apabila kelapa luput dari sabetan, karena terlanjur menggelinding sebelum dieksekusi misalnya, maka adegan boleh diulang....

PEMAKAIAN BUSANA
Selesai brojolan, calon ibu dibimbing keruangan lain untuk dikenai busana kain batik atau jarit berbagai motif, motif sido luhur, sido asih, sido mukti, gondo suli, semen raja, babon angrem dan terakhir kain lurik motif lasem. Kain lurik motif lasem melambangkan cinta kasih antara bapak dan ibunya. Kain-kain yang tujuh motif tersebut dikenakan bergantian urut satu persatu.

Setiap berganti hingga kain yang ke enam, pemandu akan bertanya kepada hadirin sudah pantas atau belum, dan hadirin akan menjawab serentak: “belum!” Ketika kain ke tujuh atau terakhir dikenakan, yaitu kain lurik motif lasem, barulah hadirin menjawab sudah. (Sudah pantas dan selayaknya).

Keenam kain lainnya yang tidak layak pakai itu kemudian dijadikan alas duduk calon bapak dan ibunya. Gaya “pendudukan” seperti itu disebut angreman. Angreman bukan menggambarkan bapak melainkan menggambarkan ayam yang sedang mengerami telurnya.
Sebelum matahari terbenam seluruh rangkaian upacara ini sudah dapat dirampungkan, tuntas, tas, tassss.


YAYANG…
Semoderen apapun jaman ini nantinya berkembang, perasaan ketika kita menantikan hadirnya seorang cucu pasti tidak akan berubah. Rasanya pasti tetap saja mendebarkan. Bagaimana tidak, karena sebentar lagi, sepasang papah dan mamah ini akan menjelma menjadi sepasang kakek dan nenek. Gelar eyang akan segera melekat. Dan tidak bisa tidak itu pasti akan terjadi, sekitar dua bulan lagi setelah upacara mitoni.

Dan ketika tiba saatnya nanti, andai bisa memilih, penulis beserta nyonya lebih suka disebut yayang daripada cuma eyang. Yayang artinya eyang yang tersayang. Terdengarnya lebih mesra dan lebih gaul. Piye Jal?

(Catatan: Ini tulisan lama. Dan kini Hanny, cucu nan lucu, sudah berumur 3 ½ tahun, dan sudah seneng niup2 mouthpiece saxophone lho. Wis jan...)

Anton Pri.

No comments: